Senin, 18 November 2019

Mencipta dan Membuat


Mencipta dan Membuat




Di dalam Al Quran, terdapat dua kata yang artinya hampir sama tapi sebenarnya berbeda. Untunglah kedua kata tersebut diterjemahkan dengan dua kata yang (sebenarnya) berbeda maknanya pula. ‘Khalaqa’ yang kemudian diterjemahkan dengan ‘menciptakan’ dan ‘ja’ala’ yang diterjemahkan sebagai ‘membuat’. Dua kata yang memiliki arti sama-sama memproses terjadinya sesuatu, namun memiliki perbedaan dalam perkara prosesnya. Dalam hal ini, dua kata tersebut masih saja disalahpahami maknanya sehingga menimbulkan kesalahan pula dalam pemakaiannya.

Jika kita mau jeli, ternyata kata ‘khalaqa’ selalu dipasangkan dengan kata semacam ‘samawat’ (langit), ardh (bumi), insan (manusia), jin, syaithan, yang notabene merupakan benda-benda orisinil dan belum pernah ada sebelumnya. Ide dan proses pengadaan benda-benda ini benar-benar murni dan belum pernah ada sebelumnya. Sementara ‘ja’ala’ selalu dipasangkannya dengan kata-kata semacam ‘libas’ (selimut), balad (negara), ‘urdh’ (penghalang), ‘juz’ (bagian), khalifah (penguasa), yang notabene merupakan pengalihan bentuk dari sesuatu yang sebelumnya sudah ada menjadi sesuatu yang baru.
Kekonsistenan Al Quran dalam ketepatan pemakaian dua kata ini memiliki banyak pelajaran yang bisa kita ambil pelajaran. Bahwa kata ‘mencipta’ dan ‘membuat’ sebenarnya memang memiliki dimensi makna yang berbeda. ‘Khalaqa’ sering dipautkan dengan proses pekerjaanNya, sementara dalam ‘ja’ala’ memiliki ruang lingkup peran serta subjek kedua selainNya. Hal tersebut juga akan memudahkan pencerapan teks untuk meminimalisir kesalahpahaman pemaknaan.
Sampai di sini, tampaknya masih ada yang perlu mendapatkan catatan. Jika kata ‘cipta’ hanya tepat digunakan untuk proses pembuatan sesuatu yang baru, yang sebelumnya belum ada, dan hanya tepat untuk pendeskripsian ‘pekerjaan Tuhan’, apakah ini berarti kata ‘cipta’ tak tepat digunakan dalam perbendaharaan kata kerja kita (sebagai manusia)?
Seperti yang kita ketahui, dalam kitab suci Al Quran, Tuhan senantiasa menjadi subjek yang bertutur dan menjelaskan ‘sistem kerjaNya’. Maka ‘dibutuhkan’ kata pembeda antara ranah kerja Tuhan dengan ranah kerja manusia. Namun kata ‘cipta’ tentu saja kemudian tak lantas tak bisa dipakai lagi dalam perbendaharaan bahasa kita. Lagipula, di dalam Al Quran, kata ‘cipta’ hanya digunakan untuk membantu menerjemahkan kata ‘khalaqa’, lantaran maknanya yang hampir mendekati ketepatan. Dan ketika kembali ke dalam ranah bahasa kita, makna kata ‘cipta’ bisa kita adopsi kembali, yakni mengadakan sesuatu yg baru (belum pernah ada, luar biasa, lain dari yang lain) dengan dimensi makna yang berbeda. Saya ambilkan contoh sebagai berikut.
Sebuah penerbit baru saja mengadakan Lomba Cipta Cerpen Pelajar. Apa yang kita pahami dari kalimat di atas, adalah pemakaian kata ‘cipta’ yang merujuk pada unsur kebaruan dan belum pernah ada sebelumnya. Namun, apakah cerpen adalah sesuatu yang baru, yang sebelumnya belum pernah ada? Ada dugaan kuat bahwa yang dimaksud Panitia Penyelenggara Lomba itu adalah cerpen dengan tema/ide yang orisinil. Masalahnya, lantaran kata ‘cipta’ akan senantiasa berhubungan dengan ide/tema, kita juga mesti bertanya, adakah ide/tema yang orisinil?
Mengenai ide/tema yang orisinil ini tampaknya perlu saya apungkan sebentar. Perkara ini pernah dibahas oleh Sapardi Djoko Damono (Sapardi, Gramedia, 2018: 194-195) ketika menyinggung aliran new criticism yang dipelopori Roland Barthes, seorang kritikus sastra, filsuf, ahli linguistik dan semiotika kelahiran Cherbourg, Normandia—Perancis, 12 November 1915. Menurut Barthes, pengarang sejatinya hanyalah tempat mengendap, bertemu, dan saling berinteraksinya sejumlah teks. Teks, tentu saja tak melulu berupa bacaan, melainkan apa yang diserap oleh semua indera dari lingkungan sosial budaya di sekelilingnya. Jadi, sebuah karya yang baru sejatinya hanyalah karya yang terbuat dari tenunan inter atau antar teks dalam diri penulis. Alias sebenarnya tak ada karya yang orisinil. Ia selalu dipengaruhi oleh karya-karya sebelumnya, dan ini tentu saja berlaku pula dalam tataran semua ide/tema. Syukurlah belakangan ada penyelenggara lomba sejenis yang mengganti diksi ‘cipta’ cukup hanya dengan ‘Lomba Menulis Cerpen’. Dengan memberikan prasyarat berupa keorisilan ide, sepertinya tujuan Panitia memang berpusat pada penciptaan karya baru yang tak terindikasi plagiarisme.
Mencari ide atau tema yang baru dan sama sekali murni hasil pemikiran seorang individu adalah kemusykilan. Namun, kata ‘mencipta’ tetap akan patuh pada makna tersebut, hanya saja kata ini memiliki dua dimensi pemaknaan. Ketika berada dalam tataran ‘pekerjaan Tuhan’, kebaruan ciptaan bermakna mutlak, sementara ketika berada dalam tataran ‘pekerjaan manusia’, kebaruan ciptaan bermakna situasional. Misalnya; demonstrasi kemarin menciptakan huru-hara yang panjang. Dan anak-anak STM membuat demonstrasi semakin runyam. Huru-hara muncul setelah kondisi yang tenang, sementara runyam merupakan hasil dari huru-hara yang semakin menjadi. Begitu.*




Nur Hadi, Lampung Post, 14 November 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar