Mencipta dan Membuat
Di dalam Al Quran, terdapat dua kata yang artinya hampir sama tapi
sebenarnya berbeda. Untunglah kedua kata tersebut diterjemahkan dengan dua kata
yang (sebenarnya) berbeda maknanya pula. ‘Khalaqa’
yang kemudian diterjemahkan dengan ‘menciptakan’ dan ‘ja’ala’ yang diterjemahkan sebagai ‘membuat’. Dua kata yang
memiliki arti sama-sama memproses terjadinya sesuatu, namun memiliki perbedaan
dalam perkara prosesnya. Dalam hal ini, dua kata tersebut masih saja disalahpahami
maknanya sehingga menimbulkan kesalahan pula dalam pemakaiannya.
Jika kita mau jeli, ternyata kata ‘khalaqa’
selalu dipasangkan dengan kata semacam ‘samawat’
(langit), ardh (bumi), insan (manusia), jin, syaithan, yang notabene merupakan benda-benda orisinil dan
belum pernah ada sebelumnya. Ide dan proses pengadaan benda-benda ini
benar-benar murni dan belum pernah ada sebelumnya. Sementara ‘ja’ala’ selalu dipasangkannya dengan
kata-kata semacam ‘libas’ (selimut), balad (negara), ‘urdh’ (penghalang), ‘juz’
(bagian), khalifah (penguasa), yang
notabene merupakan pengalihan bentuk dari sesuatu yang sebelumnya sudah ada
menjadi sesuatu yang baru.
Kekonsistenan Al Quran dalam ketepatan pemakaian dua kata ini memiliki banyak
pelajaran yang bisa kita ambil pelajaran. Bahwa kata ‘mencipta’ dan ‘membuat’
sebenarnya memang memiliki dimensi makna yang berbeda. ‘Khalaqa’ sering dipautkan dengan proses pekerjaanNya, sementara
dalam ‘ja’ala’ memiliki ruang lingkup
peran serta subjek kedua selainNya. Hal tersebut juga akan memudahkan pencerapan
teks untuk meminimalisir kesalahpahaman pemaknaan.
Sampai di sini, tampaknya masih ada yang perlu mendapatkan catatan. Jika
kata ‘cipta’ hanya tepat digunakan untuk proses pembuatan sesuatu yang baru,
yang sebelumnya belum ada, dan hanya tepat untuk pendeskripsian ‘pekerjaan
Tuhan’, apakah ini berarti kata ‘cipta’ tak tepat digunakan dalam
perbendaharaan kata kerja kita (sebagai manusia)?
Seperti yang kita ketahui, dalam kitab suci Al Quran, Tuhan senantiasa
menjadi subjek yang bertutur dan menjelaskan ‘sistem kerjaNya’. Maka
‘dibutuhkan’ kata pembeda antara ranah kerja Tuhan dengan ranah kerja manusia.
Namun kata ‘cipta’ tentu saja kemudian tak lantas tak bisa dipakai lagi dalam
perbendaharaan bahasa kita. Lagipula, di dalam Al Quran, kata ‘cipta’ hanya
digunakan untuk membantu menerjemahkan kata ‘khalaqa’, lantaran maknanya yang hampir mendekati ketepatan. Dan
ketika kembali ke dalam ranah bahasa kita, makna kata ‘cipta’ bisa kita adopsi
kembali, yakni mengadakan sesuatu yg baru (belum
pernah ada, luar biasa, lain dari yang lain) dengan dimensi makna yang berbeda.
Saya ambilkan contoh sebagai berikut.
Sebuah penerbit baru saja mengadakan Lomba Cipta Cerpen Pelajar. Apa yang
kita pahami dari kalimat di atas, adalah pemakaian kata ‘cipta’ yang merujuk
pada unsur kebaruan dan belum pernah ada sebelumnya. Namun, apakah cerpen
adalah sesuatu yang baru, yang sebelumnya belum pernah ada? Ada dugaan kuat
bahwa yang dimaksud Panitia Penyelenggara Lomba itu adalah cerpen dengan
tema/ide yang orisinil. Masalahnya, lantaran kata ‘cipta’ akan senantiasa
berhubungan dengan ide/tema, kita juga mesti bertanya, adakah ide/tema yang
orisinil?
Mengenai ide/tema yang orisinil ini tampaknya perlu saya apungkan
sebentar. Perkara ini pernah dibahas oleh Sapardi Djoko Damono (Sapardi, Gramedia, 2018: 194-195)
ketika menyinggung aliran new criticism yang
dipelopori Roland Barthes, seorang
kritikus sastra, filsuf, ahli linguistik dan semiotika kelahiran Cherbourg,
Normandia—Perancis, 12 November 1915. Menurut Barthes, pengarang sejatinya hanyalah
tempat mengendap, bertemu, dan saling berinteraksinya sejumlah teks. Teks,
tentu saja tak melulu berupa bacaan, melainkan apa yang diserap oleh semua
indera dari lingkungan sosial budaya di sekelilingnya. Jadi, sebuah karya yang
baru sejatinya hanyalah karya yang terbuat dari tenunan inter atau antar teks
dalam diri penulis. Alias sebenarnya tak ada karya yang orisinil. Ia selalu
dipengaruhi oleh karya-karya sebelumnya, dan ini tentu saja berlaku pula dalam
tataran semua ide/tema. Syukurlah belakangan ada penyelenggara lomba sejenis
yang mengganti diksi ‘cipta’ cukup hanya dengan ‘Lomba Menulis Cerpen’. Dengan
memberikan prasyarat berupa keorisilan ide, sepertinya tujuan Panitia memang
berpusat pada penciptaan karya baru yang tak terindikasi plagiarisme.
Mencari ide atau tema yang baru dan sama sekali murni hasil pemikiran seorang
individu adalah kemusykilan. Namun, kata ‘mencipta’ tetap akan patuh pada makna
tersebut, hanya saja kata ini memiliki dua dimensi pemaknaan. Ketika berada
dalam tataran ‘pekerjaan Tuhan’, kebaruan ciptaan bermakna mutlak, sementara
ketika berada dalam tataran ‘pekerjaan manusia’, kebaruan ciptaan bermakna situasional.
Misalnya; demonstrasi kemarin menciptakan huru-hara yang panjang. Dan anak-anak
STM membuat demonstrasi semakin runyam. Huru-hara muncul setelah kondisi yang
tenang, sementara runyam merupakan hasil dari huru-hara yang semakin menjadi. Begitu.*
Nur Hadi,
Lampung Post, 14 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar