Orisinalitas
Ide, Adakah?
Adakah ide yang orisinal?
Betapa seringnya pertanyaan
krusial ini dilontarkan oleh penulis (sastra) yang saya kira terlalu sok suci
dan hati-hati dalam mencari bahan tulisan. Seolah orisinalitas ide adalah syarat
mutlak untuk membangun karya monumental. Bukankah jika begini, generasi paling
belakang bisa dikatakan sebagai generasi paling malang—lantaran merekalah yang
paling tidak orisinil? Sebab, mereka hanya melakukan tindakan pungut ide dari
para pendahulu untuk kemudian dikembangkan sendiri.
Seperti yang kita tahu, ide pokok
sebuah karya sastra hampir selalu tak pernah lari dari tema-tema dasar seperti;
cinta, pengkhianatan, kejujuran, kesetiaan, korupsi, kejiwaan, dll. Kebaruan yang
ada dan berkembang selalu lebih mengacu kepada gaya atau teknik yang mampu
melahirkan tafsiran baru atas sebuah nilai. Dan jika kita mengacu pada pendapat
Jean-Paul Sartre, meski gaya atau teknik ini mampu menghasilkan nilai prosa,
namun hal itu sering tak diperhatikan. Sebab medium kata-kata itu transparan,
sementara pandangan menusuk ke dalamnya (Ade Ma’ruf, Jendela. 2002). Jika yang
baru hanya kemasan, sementara isinya sama saja, bukankah itu berarti sama?
Tak hanya terbatas pada bidang
literasi saja, bisa kita lihat dan ‘baca’. Media semacam ‘facebook’ dan
sejenisnya, komputer dan beberapa teknologi digital yang menjadi lahan
berkembangnya dunia maya, bahkan semua hasil penemuan modern, semuanya
dikembangkan dari inventarisir penemuan sebelumnya. Para pembaru ini telah
melewati proses panjang dalam meneliti dan mengamati untuk kemudian menemukan
kelemahan-kelemahan dan lalu diperbarui untuk dijadikan prototipe model terbaru
dan termutakhir. Istilah singkatnya, adalah; penyempurnaan.
Membahas orisinalitas ide ini
jadi mengingatkan saya tentang gejala ‘the
anxiety of influence’ yang tampaknya menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka
yang mengagungkan konsep orisinalitas ide itu. Prof. Sapardi Djoko Damono (Alih
Wahana, 2018; 192) seolah terkesan setengah menertawakan, bahwa mereka yang
mengaku belum pernah membaca karya siapa dan apa pun adalah merupakan gejala
ketakutan akan tuduhan keterpengaruhan itu. Padahal proses keterpengaruhan itu
kadangkala terjadi tanpa kesadaran si penulis itu sendiri. Keterpengaruhan itu
terjadi akibat endapan residu yang berasal dari pengalaman hidup, bacaan, dan interaksi
sosial. Proses intertekstual itulah yang kemudian menjadi tenunan teks baru.
Kehadirannya tak pernah sepi dari pengaruh teks-teks luar.
Analoginya adalah seperti ini.
Dengan hanya pandangan mata, kita bahkan sudah bisa menafsir dan lalu
menyatakan sikap terhadap sekian tanda yang kita temukan di jalan. Proses
penerimaan dan penolakan yang melahirkan sikap, itulah yang disebut
keterpengaruhan itu. Saat melihat tanda “P” besar dengan tanda silang merah di
tengahnya, kita pun secara otomatis akan mematuhi untuk tidak parkir di tempat
itu, lantaran kita sudah punya informasi terkait rambu-rambu lalu lintas
tersebut. Sikap menaati (penerimaan) ini jelas bukanlah sikap orisinal,
lantaran sikap itu lahir atas sebuah nilai yang telah menjadi konsensus. Dengan
begini kita bahkan bisa mengatakan bahwa semua tindakan kita tidak orisinil
lantaran dipengaruhi banyak norma yang kita anut (termasuk yang kita tolak).
Persis juga seperti yang dialami Paulo Coelho—ketika menyelesaikan The Pilgrimage (Ade Ma’ruf, Jendela.
2002). Ia merasa tak percaya pada penjelasan-penjelasan tentang jagat raya,
tapi sebenarnya ia punya sesuatu untuk dibagi. Jika tak ada tek-teks penjelasan
tentang jagat raya yang ia tolak itu, adakah teks (baru) yang ia tenun?
Saat membicarakan
keterpengaruhan, tentu saja kita harus memahami apa itu makna pengaruh. KBBI
menuliskan definisinya sebagai daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang,
benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang.
Penerimaan atau penolakan, jelas merupakan watak/sikap yang terbentuk setelah
adanya daya itu. Dalam pidato penerimaan hadiah Nobelnya, Seamus Heaney bahkan
terang-terangan menjabarkan perihal karya-karyanya yang tak bisa lepas dari kehidupan
masa kanaknya (1940-an) di sebuah rumah jerami tradisional yang penuh kedamaian
dan kesederhanaan, masa remaja yang terteror kondisi perang saudara di
negaranya, hingga masa-masa dewasanya ketika semua pengalaman hidup tadi
kemudian berdialog dengan teks-teks yang ia baca di kemudian hari (Tia Setiadi,
DIVA Press. 2015). Dari dialog inilah kemudian lahir teks-teks personal yang
menyoal tentang kemakmuran namun tak pernah bisa lepas dari bayang-bayang
sejarah militerisme yang pernah ia alami.
Di era sekarang, ketika media
sosial, media massa, dan media elektronik begitu membawa pengaruh besar dalam
lini kehidupan, rasa-rasanya sulit bahkan mustahil untuk bilang bahwa seorang
penulis mampu berpegang penuh pada orisinalitas ide. Mengapa tak sependapat
dengan Barthes saja, bahwa pengarang adalah markas tempat bertemunya berbagai
teks, sehingga sampai pada pendapat T.S. Eliot bahwa orisinalitas mutlak
sebenarnya adalah omong kosong.
Tak usah takut mengakui
keterpengaruhan itu. Toh seperti yang pernah dikatakan Prof. Sapardi (Alih
Wahana, 2018), karya sastra yang menantang justru adalah yang menantang kita
untuk menciptakannya kembali, membentur-benturkan dan mempertemulan bilah-bilah
teks itu untuk kemudian mendamaikannya. Bukankah itu takkan bisa terjadi jika
tak ada teks-teks yang berdiam di dalam kita? Dan bukankah itu justru terasa
seru?*
Nur Hadi, Tabloid Minggu Pagi 26 September - 2 Oktober 2019
gambar: Joan Miro, via Pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar