Minggu, 27 Oktober 2019

Orisinalitas Ide, Adakah?


Orisinalitas Ide, Adakah?





Adakah ide yang orisinal?
Betapa seringnya pertanyaan krusial ini dilontarkan oleh penulis (sastra) yang saya kira terlalu sok suci dan hati-hati dalam mencari bahan tulisan. Seolah orisinalitas ide adalah syarat mutlak untuk membangun karya monumental. Bukankah jika begini, generasi paling belakang bisa dikatakan sebagai generasi paling malang—lantaran merekalah yang paling tidak orisinil? Sebab, mereka hanya melakukan tindakan pungut ide dari para pendahulu untuk kemudian dikembangkan sendiri.

Seperti yang kita tahu, ide pokok sebuah karya sastra hampir selalu tak pernah lari dari tema-tema dasar seperti; cinta, pengkhianatan, kejujuran, kesetiaan, korupsi, kejiwaan, dll. Kebaruan yang ada dan berkembang selalu lebih mengacu kepada gaya atau teknik yang mampu melahirkan tafsiran baru atas sebuah nilai. Dan jika kita mengacu pada pendapat Jean-Paul Sartre, meski gaya atau teknik ini mampu menghasilkan nilai prosa, namun hal itu sering tak diperhatikan. Sebab medium kata-kata itu transparan, sementara pandangan menusuk ke dalamnya (Ade Ma’ruf, Jendela. 2002). Jika yang baru hanya kemasan, sementara isinya sama saja, bukankah itu berarti sama?
Tak hanya terbatas pada bidang literasi saja, bisa kita lihat dan ‘baca’. Media semacam ‘facebook’ dan sejenisnya, komputer dan beberapa teknologi digital yang menjadi lahan berkembangnya dunia maya, bahkan semua hasil penemuan modern, semuanya dikembangkan dari inventarisir penemuan sebelumnya. Para pembaru ini telah melewati proses panjang dalam meneliti dan mengamati untuk kemudian menemukan kelemahan-kelemahan dan lalu diperbarui untuk dijadikan prototipe model terbaru dan termutakhir. Istilah singkatnya, adalah; penyempurnaan.
Membahas orisinalitas ide ini jadi mengingatkan saya tentang gejala ‘the anxiety of influence’ yang tampaknya menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka yang mengagungkan konsep orisinalitas ide itu. Prof. Sapardi Djoko Damono (Alih Wahana, 2018; 192) seolah terkesan setengah menertawakan, bahwa mereka yang mengaku belum pernah membaca karya siapa dan apa pun adalah merupakan gejala ketakutan akan tuduhan keterpengaruhan itu. Padahal proses keterpengaruhan itu kadangkala terjadi tanpa kesadaran si penulis itu sendiri. Keterpengaruhan itu terjadi akibat endapan residu yang berasal dari pengalaman hidup, bacaan, dan interaksi sosial. Proses intertekstual itulah yang kemudian menjadi tenunan teks baru. Kehadirannya tak pernah sepi dari pengaruh teks-teks luar.
Analoginya adalah seperti ini. Dengan hanya pandangan mata, kita bahkan sudah bisa menafsir dan lalu menyatakan sikap terhadap sekian tanda yang kita temukan di jalan. Proses penerimaan dan penolakan yang melahirkan sikap, itulah yang disebut keterpengaruhan itu. Saat melihat tanda “P” besar dengan tanda silang merah di tengahnya, kita pun secara otomatis akan mematuhi untuk tidak parkir di tempat itu, lantaran kita sudah punya informasi terkait rambu-rambu lalu lintas tersebut. Sikap menaati (penerimaan) ini jelas bukanlah sikap orisinal, lantaran sikap itu lahir atas sebuah nilai yang telah menjadi konsensus. Dengan begini kita bahkan bisa mengatakan bahwa semua tindakan kita tidak orisinil lantaran dipengaruhi banyak norma yang kita anut (termasuk yang kita tolak). Persis juga seperti yang dialami Paulo Coelho—ketika menyelesaikan The Pilgrimage (Ade Ma’ruf, Jendela. 2002). Ia merasa tak percaya pada penjelasan-penjelasan tentang jagat raya, tapi sebenarnya ia punya sesuatu untuk dibagi. Jika tak ada tek-teks penjelasan tentang jagat raya yang ia tolak itu, adakah teks (baru) yang ia tenun?
Saat membicarakan keterpengaruhan, tentu saja kita harus memahami apa itu makna pengaruh. KBBI menuliskan definisinya sebagai daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang. Penerimaan atau penolakan, jelas merupakan watak/sikap yang terbentuk setelah adanya daya itu. Dalam pidato penerimaan hadiah Nobelnya, Seamus Heaney bahkan terang-terangan menjabarkan perihal karya-karyanya yang tak bisa lepas dari kehidupan masa kanaknya (1940-an) di sebuah rumah jerami tradisional yang penuh kedamaian dan kesederhanaan, masa remaja yang terteror kondisi perang saudara di negaranya, hingga masa-masa dewasanya ketika semua pengalaman hidup tadi kemudian berdialog dengan teks-teks yang ia baca di kemudian hari (Tia Setiadi, DIVA Press. 2015). Dari dialog inilah kemudian lahir teks-teks personal yang menyoal tentang kemakmuran namun tak pernah bisa lepas dari bayang-bayang sejarah militerisme yang pernah ia alami.
Di era sekarang, ketika media sosial, media massa, dan media elektronik begitu membawa pengaruh besar dalam lini kehidupan, rasa-rasanya sulit bahkan mustahil untuk bilang bahwa seorang penulis mampu berpegang penuh pada orisinalitas ide. Mengapa tak sependapat dengan Barthes saja, bahwa pengarang adalah markas tempat bertemunya berbagai teks, sehingga sampai pada pendapat T.S. Eliot bahwa orisinalitas mutlak sebenarnya adalah omong kosong.
Tak usah takut mengakui keterpengaruhan itu. Toh seperti yang pernah dikatakan Prof. Sapardi (Alih Wahana, 2018), karya sastra yang menantang justru adalah yang menantang kita untuk menciptakannya kembali, membentur-benturkan dan mempertemulan bilah-bilah teks itu untuk kemudian mendamaikannya. Bukankah itu takkan bisa terjadi jika tak ada teks-teks yang berdiam di dalam kita? Dan bukankah itu justru terasa seru?*


Nur Hadi, Tabloid Minggu Pagi 26 September - 2 Oktober 2019
gambar: Joan Miro, via Pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar