Rabu, 20 April 2016

Misi Tersembunyi dalam Cerpen-Cerpen Bertema Cinta



Misi Tersembunyi dalam Cerpen-Cerpen Bertema Cinta




Judul Buku  :  Reruntuhan Musim Dingin
Penulis        :  Sungging Raga
Penerbit       :  Penerbit DIVA Press
Cetakan       :  Pertama, Januari 2016
Tebal           :  204 halaman
ISBN           :  978-602-391-079-3


Cerpen adalah sebuah karya fiksi yang coba membangun sebuah keutuhan cerita demi merengkuh kepercayaan pembaca. Dengan belokan alur, gelombang kata-kata, persimpangan dan penyingkapan, sebuah cerpen dibangun dengan tujuan membanjiri nalar, meruntuhkan ketidakpercayaan, sehingga pembaca pun dibuat menyerah dan turut hanyut mengikuti hempasan-hempasan cerita.
Inilah yang dimaksud oleh Mario Vargas Llosa sebagai the power of persuasion; ketika sebuah kisah seakan-akan sudah mencapai dunia tersendiri yang independen dan mencukupi diri, saat kita percaya bahwa segala yang termaktub dalam kisah itu bukanlah desakan sewenang-wenang dari luar, melainkan hasil dari mekanisme internal kisah itu sendiri. Tatkala sebuah kisah mewedar semacam ilusi bahwa apa yang dihadirkannya terbebas dari kenyataan, dan mengandung segala yang dibutuhkannya untuk hadir dan mengalir sendiri, saat itulah fiksi meraih kekuatan persuasi tertingginya (hal. 8).
Tapi, kita justru akan menemukan kenyataan lain setelah menyusuri cerita demi cerita dalam buku kumpulan cerita ini. Mengamini apa yang sudah didedahkan Tia Setiadi dalam Kata Pengantar, dalam beberapa cerita, Raga justru melakukan pembocoran-pembocoran untuk melepaskan pembaca dari ilusi fiksional yang diciptakannya.
Coba kita simak petikan dari “Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis” berikut;
Namun bagaimanapun usaha manusia, bagaimanapun fenomena itu dijelaskan dari sisi teknologi dan astronomi, serumit apa pun kejadian itu dikisahkan dalam sebuah cerpen seperti ini, tetap saja tak diketahui, siapakah wanita berpakaian merah yang misterius itu…
Pembocoran cerita juga bisa kita temukan dalam beberapa cerita lainnya, yang menandakan bahwa penulisnya memang sengaja melakukannya dengan maksud tertentu. Apakah ini yang dimaksudkan dalam kredo Penulis yang dilontarkannya pada Kata Pengantar; Tidak ada misi tertentu dalam cerpen-cerpen saya, selain benar-benar sebagai ekspresi kecintaan terhadap cerpen itu sendiri. Ketika rasa cinta penulis terhadap cerpen telah dibersihkan dari tendensi apa pun, semisal ingin mengangkat kearifan lokal, ingin mengangkat konflik sosial, ingin mengikuti selera mainstream, atau ingin dimuat di media, maka cerpen itu pun akan mencintai penulisnya.
Raga memang seolah ingin menyadarkan pembaca bahwa apa yang dihadapinya hanyalah sekadar cerpen, sekadar cerita rekaan yang sesekali boleh kau percaya sesekali boleh kau abai. Namun, bisakah dipahami bahwa sebuah tindakan bisa terbebas dari maksud-maksud tertentu, kecuali jika si pelaku sudah hilang kesadaran? Bahkan, dalam “Ole Fislip Sudah Mati”, “Tak Ada Kematian di Alaska”, ‘tanpa sadar’ sebenarnya Raga telah merajut cerpen bernuansa religi. Ia seperti mengingkari misi tersembunyi sastra yang sebenarnya tak bisa dimungkiri oleh para penciptanya.
Kembali mengamini apa yang disangkakan Tia Setiadi, pembocoran-pembocoran yang dilakukan Raga tampaknya adalah seperti upaya ‘pengakuan dosa’. Tak ada sastra yang berangkat dari ruang hampa. Sastra senantiasa ditulis di atas kanvas kenyataan (hal. 11). Dengan kepiawaian para juru kisah dalam menampilkan muslihat-muslihat dan teknik, simbol dan metafor yang ditenunnya, tendensi jelas tak bisa dipisahkan betapa pun sang penulisnya sendiri berusaha mengingkari. Selalu ada misi tersembunyi dalam sastra.*


(Nur Hadi, Koran Madura, Jum’at 18 Maret 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar