Misi Tersembunyi dalam Cerpen-Cerpen Bertema Cinta
Judul Buku : Reruntuhan Musim Dingin
Penulis :
Sungging Raga
Penerbit :
Penerbit DIVA Press
Cetakan :
Pertama, Januari 2016
Tebal : 204
halaman
ISBN :
978-602-391-079-3
Cerpen adalah sebuah karya fiksi yang
coba membangun sebuah keutuhan cerita demi merengkuh kepercayaan pembaca. Dengan
belokan alur, gelombang kata-kata, persimpangan dan penyingkapan, sebuah cerpen
dibangun dengan tujuan membanjiri nalar, meruntuhkan ketidakpercayaan, sehingga
pembaca pun dibuat menyerah dan turut hanyut mengikuti hempasan-hempasan cerita.
Inilah yang dimaksud oleh Mario
Vargas Llosa sebagai the power of
persuasion; ketika sebuah kisah seakan-akan sudah mencapai dunia tersendiri
yang independen dan mencukupi diri, saat kita percaya bahwa segala yang termaktub
dalam kisah itu bukanlah desakan sewenang-wenang dari luar, melainkan hasil
dari mekanisme internal kisah itu sendiri. Tatkala sebuah kisah mewedar semacam
ilusi bahwa apa yang dihadirkannya terbebas dari kenyataan, dan mengandung
segala yang dibutuhkannya untuk hadir dan mengalir sendiri, saat itulah fiksi
meraih kekuatan persuasi tertingginya (hal. 8).
Tapi, kita justru akan menemukan
kenyataan lain setelah menyusuri cerita demi cerita dalam buku kumpulan cerita
ini. Mengamini apa yang sudah didedahkan Tia Setiadi dalam Kata Pengantar,
dalam beberapa cerita, Raga justru melakukan pembocoran-pembocoran untuk
melepaskan pembaca dari ilusi fiksional yang diciptakannya.
Coba kita simak petikan dari “Untuk
Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis” berikut;
Namun bagaimanapun usaha manusia, bagaimanapun fenomena itu dijelaskan
dari sisi teknologi dan astronomi, serumit apa pun kejadian itu dikisahkan
dalam sebuah cerpen seperti ini, tetap saja tak diketahui, siapakah wanita
berpakaian merah yang misterius itu…
Pembocoran cerita juga bisa kita
temukan dalam beberapa cerita lainnya, yang menandakan bahwa penulisnya memang
sengaja melakukannya dengan maksud tertentu. Apakah ini yang dimaksudkan dalam
kredo Penulis yang dilontarkannya pada Kata Pengantar; Tidak ada misi tertentu dalam cerpen-cerpen saya, selain benar-benar
sebagai ekspresi kecintaan terhadap cerpen itu sendiri. Ketika rasa cinta
penulis terhadap cerpen telah dibersihkan dari tendensi apa pun, semisal ingin
mengangkat kearifan lokal, ingin mengangkat konflik sosial, ingin mengikuti
selera mainstream, atau ingin dimuat di media, maka cerpen itu pun akan
mencintai penulisnya.
Raga memang seolah ingin menyadarkan
pembaca bahwa apa yang dihadapinya hanyalah sekadar cerpen, sekadar cerita
rekaan yang sesekali boleh kau percaya sesekali boleh kau abai. Namun, bisakah
dipahami bahwa sebuah tindakan bisa terbebas dari maksud-maksud tertentu,
kecuali jika si pelaku sudah hilang kesadaran? Bahkan, dalam “Ole Fislip Sudah
Mati”, “Tak Ada Kematian di Alaska”, ‘tanpa sadar’ sebenarnya Raga telah
merajut cerpen bernuansa religi. Ia seperti mengingkari misi tersembunyi sastra
yang sebenarnya tak bisa dimungkiri oleh para penciptanya.
Kembali mengamini apa yang
disangkakan Tia Setiadi, pembocoran-pembocoran yang dilakukan Raga tampaknya
adalah seperti upaya ‘pengakuan dosa’. Tak ada sastra yang berangkat dari ruang
hampa. Sastra senantiasa ditulis di atas kanvas kenyataan (hal. 11). Dengan
kepiawaian para juru kisah dalam menampilkan muslihat-muslihat dan teknik,
simbol dan metafor yang ditenunnya, tendensi jelas tak bisa dipisahkan betapa
pun sang penulisnya sendiri berusaha mengingkari. Selalu ada misi tersembunyi dalam
sastra.*
(Nur Hadi, Koran Madura, Jum’at 18 Maret
2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar