Memaknai Kembali Demokrasi
Judul Buku : Demokrasi ala Tukang Copet
Penulis : Mohamad Sobary
Penerbit : Penerbit Mizan
Cetakan : Pertama, Oktober 2015
Tebal : 124 halaman
ISBN : 978-979-433-836-0
Buku kecil ini mengajak kita melihat ulang akan
pemaknaan demokrasi dan nilai-nilai hidup yang selama ini sudah kita jalani.
Apakah sudah benar, lurus, dan sesuai dengan makna demokrasi sebenarnya?
Ataukah hanya semata sesuatu yang dimaknai sesuai keinginan sendiri? Seperti
teori kebenaran yang dianut oleh para tukang copet. Di tangan kaum eksekutif
maupun legislatif, demokrasi diubah makna dan definisinya sedemikian rupa
sehingga apa yang dinamakan demokrasi tak menghalangi pencopetan besar-besaran.
Rakyat yang dicopet menjadi miskin dan akan miskin secara abadi, tapi copetnya
kaya raya (hal. 10). Kebenaran dimaknai menurut dirinya sendiri. Selayak hukum
rimba.
Renungan-renungan kecil yang disuguhkan buku ini
akan memberikan perspektif baru yang kadangkala tak terduga. Dengan membidik
hal-hal sederhana yang luput dari pandangan, Kang Sobary mampu menyuguhkan
sindiran yang layak ‘dikonsumsi’ siapapun yang menginginkan perbaikan. Misalnya
saja ketika menyoroti perihal menjamurnya budaya buku biografi. Ada dua pesan
tercatat yang dipanggul oleh buku-buku biografi tersebut; pertama, untuk
mengingatkan publik bahwa dia sudah berbuat banyak bagi negeri kita, padahal
hal itu justru bisa menjadi sebuah kenaifan bahwa apa yang dikerjakannya hampir
tak relevan dengan jabatannya. Kedua, untuk ‘menjual’ diri, menjadi ‘iklan’
agar namanya dikenang orang, sebagai modal untuk pencalonan apa saja yang layak
diikuti pada masa depan. Memang tak ada larangan dalam hal-hal semacam; center,institute, dan biografi. Tapi, apakah
semua itu benar akan memberikan pencerahan kepada publik? Adakah kekuatan
penting yang dipancarkan dari sana, untuk mengajak orang banyak berpikir
mendalam mengenai makna kebebasan? (hal. 21).
Kang Sobary juga tak lupa mengingatkan kita untuk
berkaca pada kisah-kisah legenda dan pewayangan. Melalui kisah ‘Katak dan
Ular’, dia mengingatkan bahwa pemimpin yang baik sesekali boleh kelihatan kaku,
tapi tindakannya harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara kemanusiaan.
Pemimpin tak perlu terlibat dalam diskursus yang tak berujung pangkal. Di
depan, di belakang, atau di tengah, dia tetap mengemban tanggungjawab publik
tak ringan. Dia tak boleh takut, mengeluh, apalagi menangis. Dia harus cekatan,
rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan jika perlu jiwa.
Melalui dongeng besutan HC. Andersen ‘Kaisar dan
Baju Barunya’, Kang Sobary mengingatkan bahwa manusia bisa mulia dan jatuh
akibat kesukaannya. Kilas balik tentang Pak Harto bisa dijadikan cermin. Beliau
tak waspada, dan tak menaruh curiga ketika para bawahannya melapor bahwa
seluruh rakyat masih mendambakan kepemimpinannya (hal. 61).
Dari sosok Puntadewa, Kang Sobary memberikan catatan
kaki mengenai sosok orang baik. Dalam kamus kehidupan Putadewa, tak ada kata
resah, segala hal sudah pada tatanan, struktur,
pada nasib terbaiknya. Segala hal—baik atau buruk, menyulitkan atau
menyenangkan, sudah kehendak Hyang Widi. Manusia hanya bisa taat, patuh,
tawakal, dan menerima gerak nasib. Dia tak mendengki, penuh toleran, tak
menyukai konflik, lega donya lila ing
sirna (kekayaan duniawinya bila diminta orang, dikasih). Dari sosok yang
hampir mendekati kesempurnaan ini Kang Sobary menyenggol nurani para pemimpin
(partai, DPR, KPK, mahkamah ini itu, ormas, dll.) yang belum memiliki jiwa
kepemimpinan (hal. 79).
Kekritisan Kang Sobary ternyata tak hanya sebatas
itu. Pada pemikiran yang sudah mapan dan dianut banyak orang pun dia tak mau
mengunyahnya begitu saja. Mari tengok ‘Anakku Adalah Anakku’, ketika dia
mengkritisi pemikiran Kahlil Gibran dalam sebuah sajaknya. ‘Anakmu bukanlah anakmu/Mereka putra-putri
Sang Hidup yang merindu pada dirinya sendiri/Berikan cintamu pada mereka, tapi
jangan gagasanmu, karena mereka memiliki gagasan sendiri/Kau boleh membikinkan
rumah untuk raga mereka, tapi bukan untuk jiwa mereka/Sebab jiwa mereka adalah
penghuni rumah masa depan’. Diam-diam Kang Sobary protes; anakku adalah
anakku, ‘perahu’ mereka juga ‘perahu’ku, kesulitan mereka adalah kesulitanku,
dan payungku mengembang di atas perahu itu dengan cinta. Orangtua, sampai kapan
pun akan selalu menjadi tempat pulang anak-anaknya. Begitu.*
(Nur Hadi, Jawa Pos, Minggu 6 Maret 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar