Rabu, 20 April 2016

Memaknai Kembali Demokrasi



Memaknai Kembali Demokrasi




Judul Buku  : Demokrasi ala Tukang Copet
Penulis        : Mohamad Sobary
Penerbit      : Penerbit Mizan
Cetakan      : Pertama,  Oktober 2015
Tebal          : 124 halaman
ISBN          : 978-979-433-836-0


Buku kecil ini mengajak kita melihat ulang akan pemaknaan demokrasi dan nilai-nilai hidup yang selama ini sudah kita jalani. Apakah sudah benar, lurus, dan sesuai dengan makna demokrasi sebenarnya? Ataukah hanya semata sesuatu yang dimaknai sesuai keinginan sendiri? Seperti teori kebenaran yang dianut oleh para tukang copet. Di tangan kaum eksekutif maupun legislatif, demokrasi diubah makna dan definisinya sedemikian rupa sehingga apa yang dinamakan demokrasi tak menghalangi pencopetan besar-besaran. Rakyat yang dicopet menjadi miskin dan akan miskin secara abadi, tapi copetnya kaya raya (hal. 10). Kebenaran dimaknai menurut dirinya sendiri. Selayak hukum rimba.
Renungan-renungan kecil yang disuguhkan buku ini akan memberikan perspektif baru yang kadangkala tak terduga. Dengan membidik hal-hal sederhana yang luput dari pandangan, Kang Sobary mampu menyuguhkan sindiran yang layak ‘dikonsumsi’ siapapun yang menginginkan perbaikan. Misalnya saja ketika menyoroti perihal menjamurnya budaya buku biografi. Ada dua pesan tercatat yang dipanggul oleh buku-buku biografi tersebut; pertama, untuk mengingatkan publik bahwa dia sudah berbuat banyak bagi negeri kita, padahal hal itu justru bisa menjadi sebuah kenaifan bahwa apa yang dikerjakannya hampir tak relevan dengan jabatannya. Kedua, untuk ‘menjual’ diri, menjadi ‘iklan’ agar namanya dikenang orang, sebagai modal untuk pencalonan apa saja yang layak diikuti pada masa depan. Memang tak ada larangan dalam hal-hal semacam; center,institute, dan biografi. Tapi, apakah semua itu benar akan memberikan pencerahan kepada publik? Adakah kekuatan penting yang dipancarkan dari sana, untuk mengajak orang banyak berpikir mendalam mengenai makna kebebasan? (hal. 21).
Kang Sobary juga tak lupa mengingatkan kita untuk berkaca pada kisah-kisah legenda dan pewayangan. Melalui kisah ‘Katak dan Ular’, dia mengingatkan bahwa pemimpin yang baik sesekali boleh kelihatan kaku, tapi tindakannya harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara kemanusiaan. Pemimpin tak perlu terlibat dalam diskursus yang tak berujung pangkal. Di depan, di belakang, atau di tengah, dia tetap mengemban tanggungjawab publik tak ringan. Dia tak boleh takut, mengeluh, apalagi menangis. Dia harus cekatan, rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan jika perlu jiwa.
Melalui dongeng besutan HC. Andersen ‘Kaisar dan Baju Barunya’, Kang Sobary mengingatkan bahwa manusia bisa mulia dan jatuh akibat kesukaannya. Kilas balik tentang Pak Harto bisa dijadikan cermin. Beliau tak waspada, dan tak menaruh curiga ketika para bawahannya melapor bahwa seluruh rakyat masih mendambakan kepemimpinannya (hal. 61).
Dari sosok Puntadewa, Kang Sobary memberikan catatan kaki mengenai sosok orang baik. Dalam kamus kehidupan Putadewa, tak ada kata resah, segala hal sudah pada tatanan, struktur,  pada nasib terbaiknya. Segala hal—baik atau buruk, menyulitkan atau menyenangkan, sudah kehendak Hyang Widi. Manusia hanya bisa taat, patuh, tawakal, dan menerima gerak nasib. Dia tak mendengki, penuh toleran, tak menyukai konflik, lega donya lila ing sirna (kekayaan duniawinya bila diminta orang, dikasih). Dari sosok yang hampir mendekati kesempurnaan ini Kang Sobary menyenggol nurani para pemimpin (partai, DPR, KPK, mahkamah ini itu, ormas, dll.) yang belum memiliki jiwa kepemimpinan (hal. 79).
Kekritisan Kang Sobary ternyata tak hanya sebatas itu. Pada pemikiran yang sudah mapan dan dianut banyak orang pun dia tak mau mengunyahnya begitu saja. Mari tengok ‘Anakku Adalah Anakku’, ketika dia mengkritisi pemikiran Kahlil Gibran dalam sebuah sajaknya. ‘Anakmu bukanlah anakmu/Mereka putra-putri Sang Hidup yang merindu pada dirinya sendiri/Berikan cintamu pada mereka, tapi jangan gagasanmu, karena mereka memiliki gagasan sendiri/Kau boleh membikinkan rumah untuk raga mereka, tapi bukan untuk jiwa mereka/Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan’. Diam-diam Kang Sobary protes; anakku adalah anakku, ‘perahu’ mereka juga ‘perahu’ku, kesulitan mereka adalah kesulitanku, dan payungku mengembang di atas perahu itu dengan cinta. Orangtua, sampai kapan pun akan selalu menjadi tempat pulang anak-anaknya. Begitu.*

(Nur Hadi, Jawa Pos, Minggu 6 Maret 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar