Terminologi Kiai, Dulu dan Kini
Terserap dari bahasa Tiongkok, ‘kiai’ berasal dari kata ‘kiya’ yang berarti ‘jalan’, dan ‘i’ yang berarti ‘lurus’. Kiai adalah
orang yang benar-benar menempuh jalan kebenaran dalam setiap ucapan, keputusan,
perbuatan, serta tingkah lakunya dalam kehidupan bermasyarakat (Putra Poser
Alam, 2015:96). Sementara dalam KBBI sendiri, kiai didefinisikan sebagai alim
ulama atau yang cerdik pandai dalam ilmu agama. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. menjelaskan
bahwa kiai (ulama) merupakan pintu gerbang untuk mengetahui semua ajaran agama.
Lantaran efek keilmuannya tersebut, seorang kiai seringkali mendapatkan
kedudukan istimewa dalam masyarakat.
Dalam lingkup sosial, terminologi mengenai pendefinisian kiai amat luas
sekali. Seorang kiai tak hanya berfungsi sebagai tempat bertanya tentang
berbagai permasalahan keagamaan. Dalam novel esai ‘Arus Bawah’, Emha Ainun
Nadjib memaknai keberadaan Kiai Semar sebagai seorang pamomong, penuntun, pengasuh, dan pengingat bagi masyarakat Karang
Kedempel. Selain menjadi bapak bagi para Punakawan, ia menjadi pengayom seluruh
warga, sambil sesekali berperan sebagai psikolog bahkan penghukum para ksatria Kurusetra.
Ia menjadi penghubung antara dunia para Dewa di Jonggring Saloka dengan para penduduk
mayapada, perlambang bahwa spiritualitas para kiai seolah bisa menjadi
penghubung (dengan jalan karamah/keramat)
antara Sang Pencipta dengan khalayak manusia. Sebuah kompleksitas fungsi
kedudukan sosial yang takkan bisa dimiliki oleh golongan manapun/siapapun
selain kiai. Hubungan mereka dengan masyarakat bisa serupa antara ‘dua manusia
kekasih, antara dua sahabat karib, antara junjungan dan abdi, hubungan saling
memberi pengertian dan manfaat, atau hubungan memerintah dan diperintah’ (Emha
Ainun Nadjib, 1991:18). Ketika keberadaan Kiai Semar menghilang, mereka yang
sebelumnya begitu tergantung dengan keberadaannya pun mengalami keadaan chaos. Seorang pemimpin jelas amat
dibutuhkan keberadaannya. Maka, mu’tamar
yang seharusnya berfungsi menjadi wadah untuk mencari siapa yang layak
dijadikan sosok pemimpin (amiir),
sungguh tak layak jika justru menjadi arena egoisme, lupa terhadap siapa yang
hendak dicarikan pemimpin.
Kita tengok misalnya ketika KH Abdullah Faqih, putra KH Rofi’i Zahid,
sesepuh Pondok Pesantren Langitan Tuban saat memperoleh sebuah mimpi perihal
kejatuhan Presiden Soeharto. Kiai yang amat diistimewakan Gus Dur itu sempat
bermimpi tentang seekor ular naga besar yang jatuh dari langit. Ribuan orang
pun datang dan mencacah naga raksasa itu menjadi tujuh bagian. Daya linuwih semacam ini bahkan kerap menjadi
rujukan beberapa golongan masyarakat tertentu, menjadi kharisma tersendiri,
seolah kiai adalah pintu ilham dari Sang Pencipta. Semisal dalam hal meminta
hari baik pernikahan, hari baik hajatan, nama yang baik untuk calon jabang
bayi, membuat suwuk/sawanan, sampai
ke soal nasihat-nasihat dalam urusan rumah tangga, para kiai juga kerap menjadi
semacam buku induk/primbon berjalan.
Mereka kebagian peran sebagai pamomong
masyarakat, dari urusan dapur sampai kasur.
Lantas bagimana dengan peran mereka dalam bernegara? Para
kiai juga tak bisa lepas dari urusan negara, bahkan sejak dari zaman feodalisme
masih berkuasa penuh di tanah Jawa. Sebut saja Wali Songo, yang justru menjadi
dewan penasihat bagi Sultan Demak. Dengan keahlian strategi perangnya, Sunan
Kudus juga pernah ditunjuk sebagai panglima perang untuk meredakan
pemberontakan Ki Ageng Pengging. Atau cobalah tengok peran kiai-kiai para
pendiri NU maupun Muhammadiyah semasa revolusi kemerdekaan. Seorang Soekarno
sendiri pernah meminta nasihat dari Kiai Wahab Hasbullah ketika terjadi
sublimasi komunikasi di antara elite politik pasca pecahnya pemberontakan PKI
di Madiun, serta tumbuhnya gerakan DI/TII. Nasihat beliau telah menjadi cikal
bakal dikenalnya apa yang kini dikenal oleh masyarakat sebagai halal bi
halal—sebuah wahana yang bisa digunakan sebagai kendaraan untuk mencairkan
perseteruan. Atau yang lebih konkret lagi yakni, terlibatnya seorang Kiai
Abdurrahman Wahid dalam panggung politik di era awal Reformasi, menjadi bukti
bahwa kiai tak melulu hanya bisa mengurusi kaum bersarung dan berpeci. Politik
bukanlah hal yang harus dijauhi lantaran justru bisa dijadikan payung pengayom
bagi mereka yang lemah dan tak pandai berpolitik, di samping merupakan
konsekuensi logis atas kedudukannya sebagai warga negara. Seperti yang pernah
diungkapkan seorang ulama salafi Ibn
Qayyim al Jauzi, bahwa politik adalah sarana untuk mendekatkan kepada kebaikan
dan menjauhkan diri dari kerusakan. Kini, bahkan tak terhitung sudah para kiai
yang berafiliasi dengan partai politik. Meski tak semua terlihat murni
memperjuangkan kepentingan umat.
Yang menarik untuk dikaji adalah ketika kiai harus dihadapkan dengan
dunia digital. Dalam bukunya, Dunia yang Dilipat, Yasraf Amir Piliang
mengungkap bahwa internet, video, dan foto merupakan media yang mampu meredusir
dan mengerdilkan ruang dan waktu ke dalam berbagai dimensi dan ke dalam wujud
atau representasi yang lebih ringkas. Ketika kekuatan bahasa, media, dan tanda,
begitu dominan, maka ia mengendalikan realitas itu sendiri, dalam pengertian ia
mengklaim dirinya sebagai realitas. Kharisma atau daya pikat orasi seorang kiai
jadi tak dibutuhkan lagi, lantaran posisinya yang mudah tergantikan oleh
kata-kata bijak (baca; dakwah bil qalam/via
dunia kata-kata) yang bisa dilakukan oleh siapa saja hanya dengan modal olah
kata. Risikonya, kita bisa tertipu dengan bramacorah yang memakai pakaian kiai.
Celah inilah yang tampaknya bisa diisi oleh sekelompok jaringan radikal yang seolah-olah
memberikan ajaran keselamatan, namun sebenarnya menyesatkan.
Sejumlah wacana mengenai peran kiai di atas sebenarnya bisa menjadi acuan
mengenai siapa sebenarnya sosok seorang kiai tersebut. Maka ketika terdengar
kabar tentang kiai-kiai yang saling ribut hanya demi sesuatu yang tak begitu
urgen dan lepas dari perannya sebagai seorang kiai, apakah dia masih layak
disebut sebagai seorang kiai? Begitu.*
(Nur Hadi, Teroka, Kompas, Rabu 5 Agustus 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar