Senin, 14 Maret 2016

Terminologi Kiai, Dulu dan Kini



Terminologi Kiai, Dulu dan Kini




Terserap dari bahasa Tiongkok, ‘kiai’ berasal dari kata ‘kiya’ yang berarti ‘jalan’, dan ‘i’ yang berarti ‘lurus’. Kiai adalah orang yang benar-benar menempuh jalan kebenaran dalam setiap ucapan, keputusan, perbuatan, serta tingkah lakunya dalam kehidupan bermasyarakat (Putra Poser Alam, 2015:96). Sementara dalam KBBI sendiri, kiai didefinisikan sebagai alim ulama atau yang cerdik pandai dalam ilmu agama. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. menjelaskan bahwa kiai (ulama) merupakan pintu gerbang untuk mengetahui semua ajaran agama. Lantaran efek keilmuannya tersebut, seorang kiai seringkali mendapatkan kedudukan istimewa dalam masyarakat.

Dalam lingkup sosial, terminologi mengenai pendefinisian kiai amat luas sekali. Seorang kiai tak hanya berfungsi sebagai tempat bertanya tentang berbagai permasalahan keagamaan. Dalam novel esai ‘Arus Bawah’, Emha Ainun Nadjib memaknai keberadaan Kiai Semar sebagai seorang pamomong, penuntun, pengasuh, dan pengingat bagi masyarakat Karang Kedempel. Selain menjadi bapak bagi para Punakawan, ia menjadi pengayom seluruh warga, sambil sesekali berperan sebagai psikolog bahkan penghukum para ksatria Kurusetra. Ia menjadi penghubung antara dunia para Dewa di Jonggring Saloka dengan para penduduk mayapada, perlambang bahwa spiritualitas para kiai seolah bisa menjadi penghubung (dengan jalan karamah/keramat) antara Sang Pencipta dengan khalayak manusia. Sebuah kompleksitas fungsi kedudukan sosial yang takkan bisa dimiliki oleh golongan manapun/siapapun selain kiai. Hubungan mereka dengan masyarakat bisa serupa antara ‘dua manusia kekasih, antara dua sahabat karib, antara junjungan dan abdi, hubungan saling memberi pengertian dan manfaat, atau hubungan memerintah dan diperintah’ (Emha Ainun Nadjib, 1991:18). Ketika keberadaan Kiai Semar menghilang, mereka yang sebelumnya begitu tergantung dengan keberadaannya pun mengalami keadaan chaos. Seorang pemimpin jelas amat dibutuhkan keberadaannya. Maka, mu’tamar yang seharusnya berfungsi menjadi wadah untuk mencari siapa yang layak dijadikan sosok pemimpin (amiir), sungguh tak layak jika justru menjadi arena egoisme, lupa terhadap siapa yang hendak dicarikan pemimpin.
Kita tengok misalnya ketika KH Abdullah Faqih, putra KH Rofi’i Zahid, sesepuh Pondok Pesantren Langitan Tuban saat memperoleh sebuah mimpi perihal kejatuhan Presiden Soeharto. Kiai yang amat diistimewakan Gus Dur itu sempat bermimpi tentang seekor ular naga besar yang jatuh dari langit. Ribuan orang pun datang dan mencacah naga raksasa itu menjadi tujuh bagian. Daya linuwih semacam ini bahkan kerap menjadi rujukan beberapa golongan masyarakat tertentu, menjadi kharisma tersendiri, seolah kiai adalah pintu ilham dari Sang Pencipta. Semisal dalam hal meminta hari baik pernikahan, hari baik hajatan, nama yang baik untuk calon jabang bayi, membuat suwuk/sawanan, sampai ke soal nasihat-nasihat dalam urusan rumah tangga, para kiai juga kerap menjadi semacam buku induk/primbon berjalan. Mereka kebagian peran sebagai pamomong masyarakat, dari urusan dapur sampai kasur.
Lantas bagimana dengan peran mereka dalam bernegara? Para kiai juga tak bisa lepas dari urusan negara, bahkan sejak dari zaman feodalisme masih berkuasa penuh di tanah Jawa. Sebut saja Wali Songo, yang justru menjadi dewan penasihat bagi Sultan Demak. Dengan keahlian strategi perangnya, Sunan Kudus juga pernah ditunjuk sebagai panglima perang untuk meredakan pemberontakan Ki Ageng Pengging. Atau cobalah tengok peran kiai-kiai para pendiri NU maupun Muhammadiyah semasa revolusi kemerdekaan. Seorang Soekarno sendiri pernah meminta nasihat dari Kiai Wahab Hasbullah ketika terjadi sublimasi komunikasi di antara elite politik pasca pecahnya pemberontakan PKI di Madiun, serta tumbuhnya gerakan DI/TII. Nasihat beliau telah menjadi cikal bakal dikenalnya apa yang kini dikenal oleh masyarakat sebagai halal bi halal—sebuah wahana yang bisa digunakan sebagai kendaraan untuk mencairkan perseteruan. Atau yang lebih konkret lagi yakni, terlibatnya seorang Kiai Abdurrahman Wahid dalam panggung politik di era awal Reformasi, menjadi bukti bahwa kiai tak melulu hanya bisa mengurusi kaum bersarung dan berpeci. Politik bukanlah hal yang harus dijauhi lantaran justru bisa dijadikan payung pengayom bagi mereka yang lemah dan tak pandai berpolitik, di samping merupakan konsekuensi logis atas kedudukannya sebagai warga negara. Seperti yang pernah diungkapkan seorang ulama salafi Ibn Qayyim al Jauzi, bahwa politik adalah sarana untuk mendekatkan kepada kebaikan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Kini, bahkan tak terhitung sudah para kiai yang berafiliasi dengan partai politik. Meski tak semua terlihat murni memperjuangkan kepentingan umat.
Yang menarik untuk dikaji adalah ketika kiai harus dihadapkan dengan dunia digital. Dalam bukunya, Dunia yang Dilipat, Yasraf Amir Piliang mengungkap bahwa internet, video, dan foto merupakan media yang mampu meredusir dan mengerdilkan ruang dan waktu ke dalam berbagai dimensi dan ke dalam wujud atau representasi yang lebih ringkas. Ketika kekuatan bahasa, media, dan tanda, begitu dominan, maka ia mengendalikan realitas itu sendiri, dalam pengertian ia mengklaim dirinya sebagai realitas. Kharisma atau daya pikat orasi seorang kiai jadi tak dibutuhkan lagi, lantaran posisinya yang mudah tergantikan oleh kata-kata bijak (baca; dakwah bil qalam/via dunia kata-kata) yang bisa dilakukan oleh siapa saja hanya dengan modal olah kata. Risikonya, kita bisa tertipu dengan bramacorah yang memakai pakaian kiai. Celah inilah yang tampaknya bisa diisi oleh sekelompok jaringan radikal yang seolah-olah memberikan ajaran keselamatan, namun sebenarnya menyesatkan.
Sejumlah wacana mengenai peran kiai di atas sebenarnya bisa menjadi acuan mengenai siapa sebenarnya sosok seorang kiai tersebut. Maka ketika terdengar kabar tentang kiai-kiai yang saling ribut hanya demi sesuatu yang tak begitu urgen dan lepas dari perannya sebagai seorang kiai, apakah dia masih layak disebut sebagai seorang kiai? Begitu.*


 

(Nur Hadi, Teroka, Kompas, Rabu 5 Agustus 2015)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar