Senin, 14 Maret 2016

Cover Buku dan Sebuah Kata Pengantar

Rencana cover "Laba-laba yang Terus Merajut Sarangnya", yang akan rilis April 2016
Terdiri dari 17 cerpen pilihan yang sudah pernah dimuat media semua...




Kata Pengantar Penulis
“Sudut Pandang Lain dalam Melihat Manusia”


Dalam kitab suci al-Quran sering dijelaskan perihal kedudukan orang-orang zalim, bodoh, kurang bersyukur, dan sekerabatnya, yang setara bahkan lebih rendah daripada binatang. Penggunaan akallah yang menjadi garis pembeda. Maka ketika akal dikesampingkan dalam segenap perilaku manusia, adakah lagi yang membedakannya dengan binatang?
Itulah awal mula pemikiran saya ketika tercetus ide ‘Lelaki Kucing Pasar’ yang notabene merupakan cerpen awal saya ketika menemukan ide menggunakan binatang sebagai metafor-metafor atas beragam tipe manusia. Betapa setiap (perilaku) binatang—jika diamati dengan saksama, sebenarnya sangat menyerupai beragam tipe manusia. Anjing yang mewakili ketamakan atau bisa juga hewan najis yang dikucilkan, kucing yang mewakili kerakusan, tikus yang melambangkan sifat senang mencuri, kambing yang melambangkan kebodohan, ular yang menggambarkan sifat licik, laba-laba yang menceritakan kerapuhan, dan sebagainya. Betapa kita sebenarnya telah diagungkan Tuhan dengan anugerah besar, namun justru sering diabaikan. Melalui buku kumcer ini, dengan rendah hati saya ingin berbagi ‘penglihatan’ dari sudut pandang lain, mari, gunakan akal kita sebaik-baiknya dan sebijaksana mungkin agar derajat kita tak turun menjadi lebih buruk dari para binatang.
Mengingat segala sesuatu takkan bisa lepas dari tendensi, semoga saja hal di atas tak dianggap sebagai tendensi yang muluk, yang sok, padahal siapalah saya? Saya yang dulu menganggap menulis (terutama genre sastra) adalah hal mulia dengan tujuan mulia, namun kemudian setelah berjalannya waktu, niat ‘keberangkatan’ saya kemudian tercemari dengan hal-hal lain yang di luar tujuan mulia sastra. Bahwa ternyata kini, (tanpa sengaja) saya telah menjadi penulis, yang hidup dari hasil menulis.
Mengingat hal itu, sering kemudian saya ‘terteror’ rasa malu dengan apa-apa yang pernah diucapkan oleh mendiang HB Jassin. Bahwa nyatanya saya ‘menggunakan’ sastra baru sebatas media kesenangan, pelampiasan unek-unek, ingin dikenal orang, bahkan tempat ‘mencari makan’. Tapi lagi-lagi saya kemudian menghibur diri sendiri, siapalah saya? Saya belumlah siapa-siapa. Tulisan saya masihlah belum ‘bagus’ benar. Saya masih hanya sekadar penulis kecil yang masih dalam proses ‘ingin menjadi’—seperti yang sering diledekkan sahabat saya; Hendra Sugiantoro (akhirnya buku ini terbit juga, Bung!). Jadi, izinkan saya menjadi ‘penumpang gelap’ digerbong kereta sastra itu dulu, siapa tahu kelak, saya bisa jadi penumpang resminya.
Alhamdulillah. Ada banyak nama yang ingin saya hadiahi ucapan terima kasih terkait kehadiran buku solo perdana saya ini. Kedua orangtua (yang akhirnya mendukung profesi kepenulisan saya), Tatik Sopiati (yang waktu suaminya kerap tercuri untuk menulis), Embun Semesta Raya (semoga cerita-cerita ini kelak sampai juga padamu, Nak), Guntur Alam dan Khosi’ah (yang sempat menjadi kritikus/guru saya), Kartika Catur Pelita beserta gerbong Akademi Menulis Jepara-nya, Ella Sofa, Mas Sochib dan Mas Irul yang menyediakan Perpusda Jepara sebagai ladang amal saya, Eko Kun Kajari (yang kerap bertanya kapan buku saya terbit), Sam Edy, Asy’ari Muhammad, Muhammad Alfan dan alm. Umar Mansyur (guru yang mengisi jiwa saya), dan terutama Penerbit UNSA Press yang memberikan kepercayaan atas karya-karya saya.
Mohon maaf bagi teman, sahabat, yang memiliki jasa namun tak tersebut dalam ruang yang terbatas ini. Saya yakin kebaikan kalian akan tetap terbalas dengan setimpal. Seyakin laba-laba yang terus merajut sarangnya.


Kalinyamatan - Jepara, 12 Maret 2016.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar