Terdiri dari 17 cerpen pilihan yang sudah pernah dimuat media semua...
Kata Pengantar Penulis
“Sudut Pandang Lain dalam Melihat
Manusia”
Dalam
kitab suci al-Quran sering dijelaskan perihal kedudukan orang-orang zalim,
bodoh, kurang bersyukur, dan sekerabatnya, yang setara bahkan lebih rendah
daripada binatang. Penggunaan akallah yang menjadi garis pembeda. Maka ketika
akal dikesampingkan dalam segenap perilaku manusia, adakah lagi yang
membedakannya dengan binatang?
Itulah
awal mula pemikiran saya ketika tercetus ide ‘Lelaki Kucing Pasar’ yang
notabene merupakan cerpen awal saya ketika menemukan ide menggunakan binatang
sebagai metafor-metafor atas beragam tipe manusia. Betapa setiap (perilaku)
binatang—jika diamati dengan saksama, sebenarnya sangat menyerupai beragam tipe
manusia. Anjing yang mewakili ketamakan atau bisa juga hewan najis yang
dikucilkan, kucing yang mewakili kerakusan, tikus yang melambangkan sifat
senang mencuri, kambing yang melambangkan kebodohan, ular yang menggambarkan
sifat licik, laba-laba yang menceritakan kerapuhan, dan sebagainya. Betapa kita
sebenarnya telah diagungkan Tuhan dengan anugerah besar, namun justru sering
diabaikan. Melalui buku kumcer ini, dengan rendah hati saya ingin berbagi
‘penglihatan’ dari sudut pandang lain, mari, gunakan akal kita sebaik-baiknya
dan sebijaksana mungkin agar derajat kita tak turun menjadi lebih buruk dari
para binatang.
Mengingat
segala sesuatu takkan bisa lepas dari tendensi, semoga saja hal di atas tak
dianggap sebagai tendensi yang muluk, yang sok, padahal siapalah saya? Saya
yang dulu menganggap menulis (terutama genre sastra) adalah hal mulia dengan
tujuan mulia, namun kemudian setelah berjalannya waktu, niat ‘keberangkatan’
saya kemudian tercemari dengan hal-hal lain yang di luar tujuan mulia sastra.
Bahwa ternyata kini, (tanpa sengaja) saya telah menjadi penulis, yang hidup
dari hasil menulis.
Mengingat
hal itu, sering kemudian saya ‘terteror’ rasa malu dengan apa-apa yang pernah
diucapkan oleh mendiang HB Jassin. Bahwa nyatanya saya ‘menggunakan’ sastra
baru sebatas media kesenangan, pelampiasan unek-unek, ingin dikenal orang,
bahkan tempat ‘mencari makan’. Tapi lagi-lagi saya kemudian menghibur diri
sendiri, siapalah saya? Saya belumlah siapa-siapa. Tulisan saya masihlah belum
‘bagus’ benar. Saya masih hanya sekadar penulis kecil yang masih dalam proses
‘ingin menjadi’—seperti yang sering diledekkan sahabat saya; Hendra Sugiantoro
(akhirnya buku ini terbit juga, Bung!). Jadi, izinkan saya menjadi ‘penumpang
gelap’ digerbong kereta sastra itu dulu, siapa tahu kelak, saya bisa jadi
penumpang resminya.
Alhamdulillah.
Ada banyak nama yang ingin saya hadiahi ucapan terima kasih terkait kehadiran
buku solo perdana saya ini. Kedua orangtua (yang akhirnya mendukung profesi
kepenulisan saya), Tatik Sopiati (yang waktu suaminya kerap tercuri untuk
menulis), Embun Semesta Raya (semoga cerita-cerita ini kelak sampai juga
padamu, Nak), Guntur Alam dan Khosi’ah (yang sempat menjadi kritikus/guru saya),
Kartika Catur Pelita beserta gerbong Akademi Menulis Jepara-nya, Ella Sofa, Mas
Sochib dan Mas Irul yang menyediakan Perpusda Jepara sebagai ladang amal saya, Eko
Kun Kajari (yang kerap bertanya kapan buku saya terbit), Sam Edy, Asy’ari
Muhammad, Muhammad Alfan dan alm. Umar Mansyur (guru yang mengisi jiwa saya),
dan terutama Penerbit UNSA Press yang memberikan kepercayaan atas karya-karya
saya.
Mohon
maaf bagi teman, sahabat, yang memiliki jasa namun tak tersebut dalam ruang
yang terbatas ini. Saya yakin kebaikan kalian akan tetap terbalas dengan
setimpal. Seyakin laba-laba yang terus merajut sarangnya.
Kalinyamatan
- Jepara, 12 Maret 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar