Senin, 26 Oktober 2015

Kenangan



Kenangan



Ibu panik ketika Fida bilang telah menjual sepatu boot tua milik almarhum Bapak ke seorang pencari barang bekas. Ibu bertanya, orang yang mana? Fida bilang perempuan gemuk dengan tahi lalat dekat hidung. Orang itu bukan pencari barang bekas yang biasanya menjadi langganan mereka. Tapi Ibu tetap saja memaksa Bari, suami Fida, untuk menemaninya melacak keberadaan boot tua itu sekarang. Tentu saja boot tua itu tak ketemu lagi.
“Aku kan sudah bilang, jangan jual barang-barang Ibu. Kalau kamu kekurangan uang, kenapa tak minta saja ke Ibu?”
“Buat apa sih Ibu menyimpan barang-barang rongsokan itu? Cuma bikin sumpek rumah saja,” gerutu Fida.

“Kamu tak tahu apa-apa tentang sejarah benda-benda itu, makanya kamu tak bisa menghargainya,” perempuan uban itu berlalu dengan membawa raut kecewa.
Alangkah menyedihkannya perpisahan. Itulah yang terjadi denganku saat ini. Sejak si boot tua dijual Fida—yang memang amat sebal dengan keberadaan kami—tak ada yang pengalamannya setara dan setua dengan diriku di rumah ini. Kini aku menjadi makhluk tertua di rumah ini, selain Ibu tentunya.
Aku harus mulai membiasakan diri berteman dengan sesuatu yang menyiksa ini. Mungkin inilah yang juga dirasakan Ibu ketika ditinggal pergi Bapak untuk selamanya. Beliau membiasakan diri berkawan dengan kenangan-kenangan usang yang menempel pada benda-benda yang amat disayanginya. Dan sepertinya tak ada orang lain yang menyadari itu.
*          *          *

Fida langsung kembali lagi ke dalam—mengurungkan niatnya belanja ke warung—begitu menemukan sosok yang telah mematung di teras rumah. Fida tak lagi keluar setelahnya, bahkan untuk sekedar menyambut sosok itu.
Ibulah yang kemudian menemukannya.
“Lho, kapan kamu datang? Mana anak-anakmu?” Ibu menjemput sosok itu.
Atun, anak pertama Ibu, tampak segan memasuki rumah. Bagaimana tak segan? Tiga tahun silam, perempuan itu pernah bertengkar hebat dengan Ibu. Soal pembagian warisan yang dinilainya tak adil. Ia bahkan sempat bersumpah takkan menginjakkan kaki ke rumah ini lagi. Tiga kali Lebaran ia tak pernah menampakkan batang hidung.
Ibu membimbingnya ke dalam. Membuatkannya teh hangat. Tak lama berselang tiba-tiba saja air mata Atun menganak sungai. Cerita berhamburan tak jelas dari mulutnya. Ia bertengkar dengan suaminya. Ia mengunci semua pintu dan jendela rumah. Tapi suaminya berhasil mencongkel pintu, masuk ke dalam dan menamparnya berkali-kali di hadapan ketiga anaknya. Atun sengaja meninggalkan ketiga anaknya demi melihat apakah lelaki itu sanggup mengurus  rumah tanpa keberadaan dirinya.
Ibu hanya diam mendengarkan. Tak kudengar perempuan itu menyalahkan siapa. Setelah cerita Atun reda, kulihat Ibu melangkah ke arahku, mengambil lap, lalu membersihkan debu-debu yang nempel di tubuhku.
“Masa-masa awal pernikahan, aku dan bapakmu juga sering bertengkar.” Selalu begitu. Setiap kali menyentuh diriku, pasti Ibu akan selalu terhubung dengan kenangan tentang Bapak.
“Tapi kami selalu bisa mendingin kembali. Kalau bukan Ibu, ya bapakmu yang memulai.” Perempuan itu lalu mengambil pompa angin. Ban  depanku telah kempes.
“Memang ada rasa gengsi. Gengsi untuk memulai, karena yang pertama mulai berarti dia kalah. Kalau sudah begitu, Ibu biasanya mendinginkan pikiran dulu,” mengembalikan pompa angin ke tempatnya. Sejenak kemudian Ibu menatapku, seolah ingin kembali menenggelamkan diri ke masa lalu.
“Kadang Ibu juga heran, kenapa bisa dan mau menikah dengan bapakmu. Kami dijodohkan, Tun. Kami menikah bukan karena pilihan sendiri. Cuma setengah tahun kami berkenalan. Tentu saja setelah menikah Ibu terkaget-kaget karena ternyata benyak sekali sifat-sifat bapakmu yang baru aku ketahui setelah pernikahan berjalan. Dari situ Ibu baru mulai sadar, tujuan pernikahan itu sebenarnya karena masing-masing ingin mendewasakan diri dengan saling memahami. Setiap hari ibaratnya kita telah semakin naik ke jenjang tangga yang lebih tinggi. Harus saling bantu untuk mendewasakan pasangan. Belajar memahami hak dan kewajiban masing-masing, dan terutama harus memikirkan anak-anak hasil pernikahan,” cerita itu seperti berasal dari sebuah pohon yang telah berbilang tahun tumbuh dalam kepala Ibu.
“Akhirnya, Ibu selalu berpikir ulang kalau ingin meributkan sesuatu.”
Tak ada tanggapan. Kemuraman masih memancar dari wajah Atun.
“Oh ya, Ibu belum pernah cerita tentang sejarah sepeda onta tua ini kepadamu kan?”
Tanpa menunggu persetujuan, Ibu langsung saja mengisahkan riwayat kedatanganku ke rumah ini.
Mulanya Ibu sangat tak setuju dengan Bapak yang hendak mengambil diriku dari tangan Pakdhe Mitro. Pasalnya, buat apa beli sepeda tua kalau sudah ada sepeda motor bebek untuk kendaraan pribadi? Berhari-hari Ibu marah atas tindakan Bapak yang tak mendapat persetujuan darinya. Apalagi kemudian diketahui bahwa Bapak ternyata berhutang demi mengambil diriku. Jawaban Bapak selalu sama setiap kali ditanya, bahwa suatu saat nanti ia akan sangat butuh diriku. Ibu sampai mendinginkan Bapak selama hampir sebulan penuh, padahal saat itu Fida, anak kedua Ibu, telah mendekati masa lahir.
Taktik Bapak baru diketahui setelah Fida lahir. Untuk menutup biaya persalinan, puputan[1], dan segala tetek-bengek lainnya pasca kelahiran Fida, Bapak terpaksa melepas motor bebek kesayangannya. Aku pun naik pangkat menjadi pengawal setia Bapak setiap berangkat mengajar.
Yah, aku ingat romantisme itu. Masa-masa ketika aku menjadi bagian penting dari keluarga ini. Ibu jadi semakin percaya terhadap Bapak. Ibu jadi semakin cinta setelah ujian kepercayaan itu. Itulah sebabnya Ibu tetap mempertahankan keberadaanku meskipun akhirnya aku menjadi sesuatu yang tak begitu penting lagi ketika Bapak akhirnya naik pangkat menjadi PNS dan mampu membeli sepeda motor lagi. Bahkan hingga Bapak mangkat mendahului Ibu. Seolah Ibu tak ingin kehilangan kenangan berharga yang ada padaku.
*          *          *         

“Biar dia tahu rasa, Bu,” masih saja kudengar bau tak sedap dari nada bicara Fida saat membicarakan kakak sulungnya. Tengah mencari-cari sesuatu di tumpukan baju dalam lemari.
“Apa kamu senang melihat saudara tuamu susah begitu?”
“Siapa suruh dulu sumpah-sumpah kayak enggak bakal butuh kita lagi. Nah, sekarang… lho, apa Ibu mengambil uangku?” mengaduk-aduk isi lemari.
“Apa mbakyumu sama sekali  tak memiliki kebaikan yang lekat di hatimu, Da?” lagi-lagi terdengar nada keluhan.
“Apa Ibu mengambil uangku?” menoleh Ibu, sepertinya tak berhasil menemukan apa yang ia cari.
“Uang apa? Buat apa Ibu mengambil uangmu?”
“Kemarin aku menyimpannya di dalam sini, tapi kok…,” kembali mengaduk-aduk seisi lemari.
“Aku tak pernah mencuri. Kalau butuh, pasti aku akan bilang. Lagipula uang pensiunan bapakmu selalu aku cukup-cukupkan untuk keperluanku sendiri.”
Perempuan itu menginterogasi satu per satu penghuni rumah, termasuk suaminya. Kemarahan langsung meracuni darahnya ketika tersangka mulai mengarah ke seseorang yang sejak pagi keluar rumah dan belum juga pulang meski hari mulai meredup. Anak gadis keduanya yang lima belas tahun itu, beberapa hari sebelumnya memang sering kudengar merengek-rengek minta dibelikan handphone.
Tak pelak, sepulangnya ke rumah gadis belia itu langsung diadili oleh ibunya. Ketika Riana tak juga mau mengaku, ibunya bahkan rela mengumpulkan seluruh penghuni rumah di ruang tengah demi menguatkan siapa yang sebenarnya telah mencuri. Gadis itu pun tak bisa mengelak dan mati langkah.
Jika aku adalah Riana, mungkin aku juga akan mengalami hal sama. Terbakar amarah setelah hilang muka karena diperlakukan seperti itu oleh ibunya. Tadi malam ia bahkan belum sempat mengisi perut sebelum mengunci diri dalam kamar. Dan kini, neneknya dibuat panik ketika cucu kesayangannya itu telah pergi dari rumah sebelum kicau burung pagi membangunkan semua.
Tak ada yang tahu ke mana gadis itu pergi membawa amarahnya. Semua teman-temannya telah dihubungi, semua tempat yang biasanya menjadi tujuannya telah disambangi, namun pencarian tak juga membuahkan hasil. Bahkan hingga dua hari dua malam berlalu.
“Kau ingat, dia dulunya adalah bayi yang pernah kita ragukan sanggup tumbuh besar dan sehat karena ia lahir prematur. Aku sangat bersyukur sekali ketika ternyata ia bisa tumbuh normal,” kulihat Ibu  mendekati Fida yang tengah berteman gelisah di kursi teras rumah, menunggu suaminya dalam pencarian.
“Dia bersalah, Bu. Aku menghukumnya agar dia jera.”
“Kau ingin tahu kenapa Ibu begitu mudah sekali memaafkan kesalahan anak-anakku? Aku menyimpan banyak sekali kenangan indah yang tak bisa terhapus begitu saja. Meski Ibu sering disakiti oleh anak-anak Ibu, entah sengaja atau tidak, bagiku aku adalah tempat anak-anakku tumbuh. Karena itulah mereka kuberi tempat yang luas di sini,” Ibu menunjuk dadanya. Begitulah Ibu. Sebesar apapun masalah yang coba menghantam ketegarannya, beliau selalu punya cara tersendiri untuk menangkisnya. Betapapun masalah itu beruntun bagai gelombang laut yang tak pernah habis menerjang.
“Kalau Ibu jadi aku, Ibu akan berbuat apa untuk menangani anak itu?” menatap lekat ibunya.
“Kau ingat ketika Sam adikmu menonjok wajah Mursidi sewaktu masih umur sepuluh dulu?”
“Anaknya Pak Guru Yanto itu?”
Mengangguk, “Kau pasti juga masih ingat, aku menghajar Sam setelah itu.”
Ya, aku pun masih ingat kejadian itu. Sam kecil lantas mengempesi dua banku demi membalas hukuman orangtuanya. Bapak melarang Ibu  menghukum Sam lagi. Bapak bilang jangan sampai Ibu mengajari balas dendam. Tapi Ibu punya cara lain untuk menghukum anak lelakinya itu. Ibu mendinginkannya hingga akhirnya kemanjaan bocah itu luluh. Sam pun tak pernah lagi mengulangi perbuatannya hingga detik ini.
“Itulah kenapa Ibu juga tak mau mengungkit masalah mbakyumu Atun. Ibu tak mau mengajarinya memelihara dendam. Lagipula, mau ke mana dia pulang andainya tertimpa masalah seperti kemarin?”
Ibu dan anak itu terdiam kemudian. Sepi memperdengarkan keberadaannya, memberikan kesempatan untuk merenung.
*          *          *

Kepulangan Riana disambut dingin ibunya. Gadis cilik itu akhirnya pulang balik ke rumah setelah empat hari empat malam membuat ayahnya kelimpungan mencari.
“Kamu menginap di rumahnya siapa, Rin?” tanya Ibu ketika melihat gadis itu tersuruk sendirian dalam kesepian karena seisi rumah mengacuhkannya.
“Nenek tahu kamu masih marah. Tapi dengarkanlah Nenek. Perbuatan buruk, sekecil apapun itu, sangat merugikan kalau kita terus menurutinya. Lihatlah, hanya gara-gara kesalahan kecil kemarin, sekarang telah membesar dan merembet ke mana-mana. Yang rugi…”
Belum sempat Ibu menyelesaikan kalimatnya, gadis kecil itu langsung beranjak pergi dari tempat duduknya.
*          *          *

Kadang aku merasa sebenarnya Ibu tak setegar seperti yang terlihat. Tak cuma sekali aku melihat perempuan uban itu tersungkur sendirian kalah melawan kesepiannya. Terutama saat semua penghuni rumah telah ditelan kamar masing-masing.
Seperti malam ini. Tak tahu mengapa dia bermenit-menit terpaku menatapku. Padahal di luar, malam telah merangkak menuju puncaknya. Tak cukup dengan itu, Ibu bahkan lalu menuntunku ke kamarnya yang terletak di samping ruang tamu. Tak puas-puasnya menatapku. Bahkan ketika ia rebah diri ke pembaringan. Sepertinya dia telah terkoyak-koyak rindu.
Aku harus bersyukur karena menjadi sebuah benda yang menyimpan banyak kenangan berharga di rumah ini. Pasti karena itulah keberadaanku sanggup bertahan lama di sini. Ibu bahkan memperlakukanku seperti laiknya perhiasan berharga. Hampir setiap hari tubuhku dibersihkannya dari debu.
Banyak barang lainnya yang tak bertahan lama atau bahkan hanya sekedar mampir di rumah ini. Meskipun peran kedatangan mereka mulanya juga tak kalah penting dibanding diriku. Namun demikian, aku tetaplah sadar perihal detik-detik perpisahan.
Di suatu fajar yang dingin, aku mendengar ribut itu. Kudengar Ibu terpeleset di kamar mandi. Hampir sebulan lamanya kemudian aku tak lagi melihat kelebat Ibu. Kekhawatiran sempat membukit dalam benakku, sepertinya keberadaanku takkan lama lagi di rumah ini. Kekhawatiran memanggil bilah-bilah kecemasan yang teramat tajam tatkala kubayangkan aku akan segera berakhir ke tempat rongsokan yang nasibnya entah kemudian.
Sungguh tak kusangka ketika suatu pagi Fida membersihkan tubuhku dan lalu menuntunku ke kamar Ibu. Diletakkannya aku di sudut kamar. O, betapa buncahnya kebahagiaan ketika rinduku terbayar. Kulihat perempuan uban itu tergolek lemah di pembaringan. Di sisi kanan pembaringannya, beberapa makanan terhidang di atas sebuah meja kecil.
Baru kemudian aku tahu bahwa perempuan uban itu terserang stroke.
Aku merasa sepertinya kami ini senasib. Dua makhluk tua yang tak banyak manfaatnya lagi selain hanya kenangan-kenangan berharga yang menempel pada kami. Aku akan terus berdo’a, semoga anak cucu Ibu selalu menghargai keberadaan beliau sama seperti beliau yang selalu menghargai keberadaanku. Karena kebaikan-kebaikan Ibu terhadap anak cucunya, seharusnya adalah kenangan yang amat berharga lebih dari benda paling berharga sekalipun bagi anak cucunya.*****



(Dimuat majalah ESQUIRE edisi Agustus 2014)

*Ilustrasi; thelonelytraveler.org


[1] Selamatan setelah tali pusar bayi putus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar