Kenangan
Ibu
panik ketika Fida bilang telah menjual sepatu boot tua milik almarhum Bapak ke
seorang pencari barang bekas. Ibu bertanya, orang yang mana? Fida bilang
perempuan gemuk dengan tahi lalat dekat hidung. Orang itu bukan pencari barang
bekas yang biasanya menjadi langganan mereka. Tapi Ibu tetap saja memaksa Bari, suami Fida, untuk
menemaninya melacak keberadaan boot tua itu sekarang. Tentu saja boot tua itu
tak ketemu lagi.
“Aku
kan sudah
bilang, jangan jual barang-barang Ibu. Kalau kamu kekurangan uang, kenapa tak
minta saja ke Ibu?”
“Buat
apa sih Ibu menyimpan barang-barang rongsokan itu? Cuma bikin sumpek rumah
saja,” gerutu Fida.
“Kamu
tak tahu apa-apa tentang sejarah benda-benda itu, makanya kamu tak bisa
menghargainya,” perempuan uban itu berlalu dengan membawa raut kecewa.
Alangkah
menyedihkannya perpisahan. Itulah yang terjadi denganku saat ini. Sejak si boot
tua dijual Fida—yang memang amat sebal dengan keberadaan kami—tak ada yang
pengalamannya setara dan setua dengan diriku di rumah ini. Kini aku menjadi
makhluk tertua di rumah ini, selain Ibu tentunya.
Aku
harus mulai membiasakan diri berteman dengan sesuatu yang menyiksa ini. Mungkin
inilah yang juga dirasakan Ibu ketika ditinggal pergi Bapak untuk selamanya.
Beliau membiasakan diri berkawan dengan kenangan-kenangan usang yang menempel
pada benda-benda yang amat disayanginya. Dan sepertinya tak ada orang lain yang
menyadari itu.
* * *
Fida
langsung kembali lagi ke dalam—mengurungkan niatnya belanja ke warung—begitu
menemukan sosok yang telah mematung di teras rumah. Fida tak lagi keluar
setelahnya, bahkan untuk sekedar menyambut sosok itu.
Ibulah
yang kemudian menemukannya.
“Lho,
kapan kamu datang? Mana anak-anakmu?” Ibu menjemput sosok itu.
Atun,
anak pertama Ibu, tampak segan memasuki rumah. Bagaimana tak segan? Tiga tahun
silam, perempuan itu pernah bertengkar hebat dengan Ibu. Soal pembagian warisan
yang dinilainya tak adil. Ia bahkan sempat bersumpah takkan menginjakkan kaki
ke rumah ini lagi. Tiga kali Lebaran ia tak pernah menampakkan batang hidung.
Ibu
membimbingnya ke dalam. Membuatkannya teh hangat. Tak lama berselang tiba-tiba
saja air mata Atun menganak sungai. Cerita berhamburan tak jelas dari mulutnya.
Ia bertengkar dengan suaminya. Ia mengunci semua pintu dan jendela rumah. Tapi
suaminya berhasil mencongkel pintu, masuk ke dalam dan menamparnya berkali-kali
di hadapan ketiga anaknya. Atun sengaja meninggalkan ketiga anaknya demi
melihat apakah lelaki itu sanggup mengurus
rumah tanpa keberadaan dirinya.
Ibu
hanya diam mendengarkan. Tak kudengar perempuan itu menyalahkan siapa. Setelah
cerita Atun reda, kulihat Ibu melangkah ke arahku, mengambil lap, lalu
membersihkan debu-debu yang nempel di tubuhku.
“Masa-masa
awal pernikahan, aku dan bapakmu juga sering bertengkar.” Selalu begitu. Setiap
kali menyentuh diriku, pasti Ibu akan selalu terhubung dengan kenangan tentang
Bapak.
“Tapi
kami selalu bisa mendingin kembali. Kalau bukan Ibu, ya bapakmu yang memulai.”
Perempuan itu lalu mengambil pompa angin. Ban
depanku telah kempes.
“Memang
ada rasa gengsi. Gengsi untuk memulai, karena yang pertama mulai berarti dia
kalah. Kalau sudah begitu, Ibu biasanya mendinginkan pikiran dulu,”
mengembalikan pompa angin ke tempatnya. Sejenak kemudian Ibu menatapku, seolah
ingin kembali menenggelamkan diri ke masa lalu.
“Kadang
Ibu juga heran, kenapa bisa dan mau menikah dengan bapakmu. Kami dijodohkan,
Tun. Kami menikah bukan karena pilihan sendiri. Cuma setengah tahun kami
berkenalan. Tentu saja setelah menikah Ibu terkaget-kaget karena ternyata
benyak sekali sifat-sifat bapakmu yang baru aku ketahui setelah pernikahan
berjalan. Dari situ Ibu baru mulai sadar, tujuan pernikahan itu sebenarnya
karena masing-masing ingin mendewasakan diri dengan saling memahami. Setiap
hari ibaratnya kita telah semakin naik ke jenjang tangga yang lebih tinggi.
Harus saling bantu untuk mendewasakan pasangan. Belajar memahami hak dan
kewajiban masing-masing, dan terutama harus memikirkan anak-anak hasil
pernikahan,” cerita itu seperti berasal dari sebuah pohon yang telah berbilang
tahun tumbuh dalam kepala Ibu.
“Akhirnya,
Ibu selalu berpikir ulang kalau ingin meributkan sesuatu.”
Tak
ada tanggapan. Kemuraman masih memancar dari wajah Atun.
“Oh
ya, Ibu belum pernah cerita tentang sejarah sepeda onta tua ini kepadamu kan?”
Tanpa
menunggu persetujuan, Ibu langsung saja mengisahkan riwayat kedatanganku ke
rumah ini.
Mulanya
Ibu sangat tak setuju dengan Bapak yang hendak mengambil diriku dari tangan
Pakdhe Mitro. Pasalnya, buat apa beli sepeda tua kalau sudah ada sepeda motor
bebek untuk kendaraan pribadi? Berhari-hari Ibu marah atas tindakan Bapak yang
tak mendapat persetujuan darinya. Apalagi kemudian diketahui bahwa Bapak
ternyata berhutang demi mengambil diriku. Jawaban Bapak selalu sama setiap kali
ditanya, bahwa suatu saat nanti ia akan sangat butuh diriku. Ibu sampai
mendinginkan Bapak selama hampir sebulan penuh, padahal saat itu Fida, anak
kedua Ibu, telah mendekati masa lahir.
Taktik
Bapak baru diketahui setelah Fida lahir. Untuk menutup biaya persalinan, puputan[1],
dan segala tetek-bengek lainnya pasca kelahiran Fida, Bapak terpaksa melepas
motor bebek kesayangannya. Aku pun naik pangkat menjadi pengawal setia Bapak
setiap berangkat mengajar.
Yah,
aku ingat romantisme itu. Masa-masa ketika aku menjadi bagian penting dari
keluarga ini. Ibu jadi semakin percaya terhadap Bapak. Ibu jadi semakin cinta
setelah ujian kepercayaan itu. Itulah sebabnya Ibu tetap mempertahankan
keberadaanku meskipun akhirnya aku menjadi sesuatu yang tak begitu penting lagi
ketika Bapak akhirnya naik pangkat menjadi PNS dan mampu membeli sepeda motor
lagi. Bahkan hingga Bapak mangkat mendahului Ibu. Seolah Ibu tak ingin
kehilangan kenangan berharga yang ada padaku.
* * *
“Biar
dia tahu rasa, Bu,” masih saja kudengar bau tak sedap dari nada bicara Fida
saat membicarakan kakak sulungnya. Tengah mencari-cari sesuatu di tumpukan baju
dalam lemari.
“Apa
kamu senang melihat saudara tuamu susah begitu?”
“Siapa
suruh dulu sumpah-sumpah kayak enggak bakal butuh kita lagi. Nah, sekarang…
lho, apa Ibu mengambil uangku?” mengaduk-aduk isi lemari.
“Apa
mbakyumu sama sekali tak memiliki
kebaikan yang lekat di hatimu, Da?” lagi-lagi terdengar nada keluhan.
“Apa
Ibu mengambil uangku?” menoleh Ibu, sepertinya tak berhasil menemukan apa yang
ia cari.
“Uang
apa? Buat apa Ibu mengambil uangmu?”
“Kemarin
aku menyimpannya di dalam sini, tapi kok…,” kembali mengaduk-aduk seisi lemari.
“Aku
tak pernah mencuri. Kalau butuh, pasti aku akan bilang. Lagipula uang pensiunan
bapakmu selalu aku cukup-cukupkan untuk keperluanku sendiri.”
Perempuan
itu menginterogasi satu per satu penghuni rumah, termasuk suaminya. Kemarahan
langsung meracuni darahnya ketika tersangka mulai mengarah ke seseorang yang
sejak pagi keluar rumah dan belum juga pulang meski hari mulai meredup. Anak
gadis keduanya yang lima
belas tahun itu, beberapa hari sebelumnya memang sering kudengar
merengek-rengek minta dibelikan handphone.
Tak
pelak, sepulangnya ke rumah gadis belia itu langsung diadili oleh ibunya.
Ketika Riana tak juga mau mengaku, ibunya bahkan rela mengumpulkan seluruh
penghuni rumah di ruang tengah demi menguatkan siapa yang sebenarnya telah mencuri.
Gadis itu pun tak bisa mengelak dan mati langkah.
Jika
aku adalah Riana, mungkin aku juga akan mengalami hal sama. Terbakar amarah
setelah hilang muka karena diperlakukan seperti itu oleh ibunya. Tadi malam ia
bahkan belum sempat mengisi perut sebelum mengunci diri dalam kamar. Dan kini,
neneknya dibuat panik ketika cucu kesayangannya itu telah pergi dari rumah
sebelum kicau burung pagi membangunkan semua.
Tak
ada yang tahu ke mana gadis itu pergi membawa amarahnya. Semua teman-temannya
telah dihubungi, semua tempat yang biasanya menjadi tujuannya telah disambangi,
namun pencarian tak juga membuahkan hasil. Bahkan hingga dua hari dua malam
berlalu.
“Kau
ingat, dia dulunya adalah bayi yang pernah kita ragukan sanggup tumbuh besar
dan sehat karena ia lahir prematur. Aku sangat bersyukur sekali ketika ternyata
ia bisa tumbuh normal,” kulihat Ibu
mendekati Fida yang tengah berteman gelisah di kursi teras rumah,
menunggu suaminya dalam pencarian.
“Dia
bersalah, Bu. Aku menghukumnya agar dia jera.”
“Kau
ingin tahu kenapa Ibu begitu mudah sekali memaafkan kesalahan anak-anakku? Aku
menyimpan banyak sekali kenangan indah yang tak bisa terhapus begitu saja. Meski
Ibu sering disakiti oleh anak-anak Ibu, entah sengaja atau tidak, bagiku aku adalah
tempat anak-anakku tumbuh. Karena itulah mereka kuberi tempat yang luas di
sini,” Ibu menunjuk dadanya. Begitulah Ibu. Sebesar apapun masalah yang coba
menghantam ketegarannya, beliau selalu punya cara tersendiri untuk
menangkisnya. Betapapun masalah itu beruntun bagai gelombang laut yang tak
pernah habis menerjang.
“Kalau
Ibu jadi aku, Ibu akan berbuat apa untuk menangani anak itu?” menatap lekat
ibunya.
“Kau
ingat ketika Sam adikmu menonjok wajah Mursidi sewaktu masih umur sepuluh
dulu?”
“Anaknya
Pak Guru Yanto itu?”
Mengangguk,
“Kau pasti juga masih ingat, aku menghajar Sam setelah itu.”
Ya,
aku pun masih ingat kejadian itu. Sam kecil lantas mengempesi dua banku demi
membalas hukuman orangtuanya. Bapak melarang Ibu menghukum Sam lagi. Bapak bilang jangan
sampai Ibu mengajari balas dendam. Tapi Ibu punya cara lain untuk menghukum
anak lelakinya itu. Ibu mendinginkannya hingga akhirnya kemanjaan bocah itu luluh.
Sam pun tak pernah lagi mengulangi perbuatannya hingga detik ini.
“Itulah
kenapa Ibu juga tak mau mengungkit masalah mbakyumu Atun. Ibu tak mau
mengajarinya memelihara dendam. Lagipula, mau ke mana dia pulang andainya
tertimpa masalah seperti kemarin?”
Ibu
dan anak itu terdiam kemudian. Sepi memperdengarkan keberadaannya, memberikan
kesempatan untuk merenung.
* * *
Kepulangan
Riana disambut dingin ibunya. Gadis cilik itu akhirnya pulang balik ke rumah
setelah empat hari empat malam membuat ayahnya kelimpungan mencari.
“Kamu
menginap di rumahnya siapa, Rin?” tanya Ibu ketika melihat gadis itu tersuruk
sendirian dalam kesepian karena seisi rumah mengacuhkannya.
“Nenek
tahu kamu masih marah. Tapi dengarkanlah Nenek. Perbuatan buruk, sekecil apapun
itu, sangat merugikan kalau kita terus menurutinya. Lihatlah, hanya gara-gara
kesalahan kecil kemarin, sekarang telah membesar dan merembet ke mana-mana.
Yang rugi…”
Belum
sempat Ibu menyelesaikan kalimatnya, gadis kecil itu langsung beranjak pergi
dari tempat duduknya.
* * *
Kadang
aku merasa sebenarnya Ibu tak setegar seperti yang terlihat. Tak cuma sekali
aku melihat perempuan uban itu tersungkur sendirian kalah melawan kesepiannya.
Terutama saat semua penghuni rumah telah ditelan kamar masing-masing.
Seperti
malam ini. Tak tahu mengapa dia bermenit-menit terpaku menatapku. Padahal di
luar, malam telah merangkak menuju puncaknya. Tak cukup dengan itu, Ibu bahkan
lalu menuntunku ke kamarnya yang terletak di samping ruang tamu. Tak
puas-puasnya menatapku. Bahkan ketika ia rebah diri ke pembaringan. Sepertinya
dia telah terkoyak-koyak rindu.
Aku
harus bersyukur karena menjadi sebuah benda yang menyimpan banyak kenangan
berharga di rumah ini. Pasti karena itulah keberadaanku sanggup bertahan lama
di sini. Ibu bahkan memperlakukanku seperti laiknya perhiasan berharga. Hampir
setiap hari tubuhku dibersihkannya dari debu.
Banyak
barang lainnya yang tak bertahan lama atau bahkan hanya sekedar mampir di rumah
ini. Meskipun peran kedatangan mereka mulanya juga tak kalah penting dibanding
diriku. Namun demikian, aku tetaplah sadar perihal detik-detik perpisahan.
Di
suatu fajar yang dingin, aku mendengar ribut itu. Kudengar Ibu terpeleset di
kamar mandi. Hampir sebulan lamanya kemudian aku tak lagi melihat kelebat Ibu. Kekhawatiran
sempat membukit dalam benakku, sepertinya keberadaanku takkan lama lagi di
rumah ini. Kekhawatiran memanggil bilah-bilah kecemasan yang teramat tajam
tatkala kubayangkan aku akan segera berakhir ke tempat rongsokan yang nasibnya
entah kemudian.
Sungguh
tak kusangka ketika suatu pagi Fida membersihkan tubuhku dan lalu menuntunku ke
kamar Ibu. Diletakkannya aku di sudut kamar. O, betapa buncahnya kebahagiaan
ketika rinduku terbayar. Kulihat perempuan uban itu tergolek lemah di
pembaringan. Di sisi kanan pembaringannya, beberapa makanan terhidang di atas
sebuah meja kecil.
Baru
kemudian aku tahu bahwa perempuan uban itu terserang stroke.
Aku
merasa sepertinya kami ini senasib. Dua makhluk tua yang tak banyak manfaatnya
lagi selain hanya kenangan-kenangan berharga yang menempel pada kami. Aku akan
terus berdo’a, semoga anak cucu Ibu selalu menghargai keberadaan beliau sama
seperti beliau yang selalu menghargai keberadaanku. Karena kebaikan-kebaikan
Ibu terhadap anak cucunya, seharusnya adalah kenangan yang amat berharga lebih
dari benda paling berharga sekalipun bagi anak cucunya.*****
(Dimuat
majalah ESQUIRE edisi Agustus 2014)
*Ilustrasi; thelonelytraveler.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar