Senin, 05 Oktober 2015

Dan Perahu-perahu Kecil Itu Akan Sampai ke Rumah Tuhan



Dan Perahu-perahu Kecil Itu Akan Sampai ke Rumah  Tuhan



“Nulis apa, Luh?” masih berbaring di dipan ruang tamu. Tadi malam, sepulang dari tempat entah, lelaki itu terdengar riuh menceracau hingga larut malam. Mabuk.
“Surat,” tanpa menoleh.
“Lalu kenapa kau membuangnya ke laut?” mengucek mata.
Terhenti. Menoleh bapaknya. “Bapak mengambilnya kembali?”
“Kayak bocah saja. Apa tak ada permainan lainnya?” menguap.
“Bapak jangan mengganggu kapal-kapalku,” menatap serius.
“Belikan Bapak rokok. Ini uangnya.”
Suluh mengacuhkannya. Kembali meneruskan menulis surat-suratnya.
“Heh, belikan Bapak rokok. Apa kamu tak punya telinga?” mencoba duduk.
“Kenapa Bapak tak menikah lagi saja?”
Mata anak dan bapak itu saling bertemu.
“Kamu ngomong apa, anak bodoh? Ayo cepat belikan Bapak rokok.”
Suluh bangkit. Tak dihiraukan suara bapaknya.
“Oo… anak edan!”
*          *          *


Senja nan jingga terlihat berair di pelupuk matanya. Burung-burung berbondong-bondong menyusul ke peraduan cahaya. Perlahan tambur warna emas itu tenggelam di ufuk barat. Menyisakan gelap di rerimbunan bakau dan kemilau keemasan di permukaan laut.
Sosok itu melepaskan sepuluh kapal kertasnya ketika jukung yang ia kayuh perlahan menjauh dari pantai. Pandangannya tak pernah lepas. Di kawalnya perahu-perahu kertas itu menuju lautan bebas.
“Huahahaha… dengar, aku bacakan ya… Kepada Tuhan Yang Maha Mendengar. Bukankah Engkau Maha Kuasa? Aku hanya minta agar Emak cepat pulang…”
“Hahahaha…,” suara Budin disambut gelak tawa teman-temannya.
“Itu bukan mainan, Din. Sini, kembalikan!” Ayu coba merebut kertas itu. Budin mendorongnya hingga gadis pincang itu hampir terjatuh.
“Aku bacakan yang lainnya lagi. Masih kepada Tuhan Yang Maha Mendengar. Aku tak minta yang lain-lain. Aku cuma minta agar Kau menolong Emak supaya bisa cepat pulang…”
“Huahahaha…” suara Budin yang sengaja dibuat meratap-ratap kembali bersambut tawa teman-temannya.
Tanpa diduga-duga, Suluh menyeruduk Budin. Dua lelaki kecil itu bergulingan. Tak ayal, rambut dan seragam sekolah merekapun berlumur pasir.
Ia memutuskan membalik arah jukung ketika gelap telah menelan semua. Ia menyusut kedua mata yang berdanau. Tapi semakin ia menyusutnya, semakin deras kesedihan itu meleleh.
“Apa benar kau telah menjotos Budin, Luh?” lelaki tambun itu menatap tajam Suluh.
“Dia mengejek saya, Pak,” menekuri sepatu bapak kepala sekolahnya yang tersemir licin.
“Hanya gara-gara diejek kau sampai membuat pipinya bengkak begitu?” mengarahkan sabetannya ke lengan kiri Suluh.
“Dia yang salah, Pak!” mendongak, menahan amarah. “Dia merusak kapal-kapal saya!”
Diam mencekam. Suluh membayangkan, mungkin Tuhan sedang sibuk dengan urusan-urusan yang lain. Telah berbilang hari ia melakoni kebodohan ini. Tak ada hasil. Sama seperti doa-doanya yang tak pernah mendapatkan jawab.
Suluh tertegun ketika kemudian pandangannya menemukan dua buah perahu kertas yang bergerak mendekat ke arah jukungnya. Teriris hatinya. Baru beberapa menit ia melepaskan mereka, kini dua permintaannya dikembalikan lagi.
Ia ambil juga dua kapal kertas yang telah rebah karena hampir seluruhnya basah. Budin  tertawa di dalam kepalanya ketika ia membongkar kapal kertas di tangan.
Terkejutlah ia kemudian. Bukan tulisannya yang ia dapati, melainkan tulisan tangan Ayu yang ia kenal betul bentuknya. Ayu memohon kepada Tuhan agar membuka hati Suluh supaya mau kembali sekolah. Ayu juga memohon agar Suluh diberi kesabaran dan kekuatan dalam hidup.
Bukannya terharu, Suluh malah meremas dua kapal kertas itu.
*          *          *

Susah betul memejamkan mata malam itu. Kalimat-kalimat Ayu dalam kapal kertas tak bisa hilang dari kepala Suluh. Seminggu yang lalu, ia memang memutuskan keluar sekolah karena jengkel dengan kepala sekolah yang lebih membela keusilan Budin. Kini Suluh ikut kerja di pabriknya Haji Dayan yang memproduksi segala macam olahan ikan.
Kebiasaan buruk bapaknya semakin menjadi-jadi. Selain hobi mabuk dan judi, dari kabar burung yang ia dengar, lelaki itu telah berani menggandeng perempuan entah. Suluh sendiri pernah menemukan sehelai rambut panjang ketika ia hendak mencuci baju kotor bapaknya. Pantaslah kalau lelaki itu sering bilang kalau penghasilannya selalu susut. Lelaki itu sudah jarang di rumah. Sepertinya lelaki itu sengaja memaksa Suluh untuk menghidupi diri sendiri. Sepertinya lelaki itu hendak pergi merajut sarang barunya sendiri.
Ya, karena semua alasan itulah Suluh ingin agar emaknya lekas pulang. Jika emaknya pulang, pasti semuanya akan berubah.
Tapi mungkinkah itu terjadi? Sedangkan ia telah tiga belas tahun kini. Kata orang-orang, perempuan itu pergi ke Arab ketika ia masih umur enam.
Itulah kenapa Budin senang sekali memperolok semua kapal kertas buatan Suluh. Masuk akalkah caranya selama ini? Suluh sendiri kadang merasa tak yakin apakah Tuhan akan membaca semua surat-suratnya. Ia merasa tak punya cara lain lagi untuk meminta tolong.
*          *          *

Siang yang terik. Tampak sebuah mobil memuntahkan seorang lelaki asing yang kemudian mondar-mandir di depan rumah Suluh.
“Cari siapa, Pak?” Bahar, teman Suluh yang saat itu berada tak jauh dari rumah itu, langsung menghampiri.
Tamu itu mencari Suluh.
Bahar segera melesat ke tempat kerja Suluh.
Suluh terkejut ketika tamu asing itu bilang telah tahu seluruh kisah hidupnya. Lelaki itu cerita, ketika ia berlayar ke Pulau Nyamuk (sebuah pulau yang letaknya tak jauh dari perkampungan nelayan tempat Suluh tinggal) demi proyek pembangunan Sekolah Dasar yang ia tangani, ia menemukan kapal-kapal kertas yang bertuliskan permintaan-permintaan Suluh. Ia mendapatkan alamat Suluh setelah menelusuri nama  sekolah yang tertera dalam salah satu kapal kertas itu.
Lelaki asing itu kemudian menawari Suluh agar masuk sekolah lagi. Lelaki asing itu bilang bersedia menanggung biaya sekolah Suluh nanti. Lelaki asing itu cerita bahwa ia juga punya banyak anak asuh.
Suluh tak langsung mengiyakan tawaran Pak Yusuf—lelaki baik hati itu. Ia minta waktu tiga hari untuk memikirkan jawaban. Ada banyak yang mengganjal dalam kepala Suluh, antara meneruskan sekolah ataukah hidup mandiri agar lekas bisa menjauh dari kehidupan bapaknya. Ia juga enggan jika harus bertemu Budin dan kepala sekolah itu lagi. Jika ia harus menruskan sekolahnya lagi, ia akan mencari sekolahan yang lain.
Dua hari kemudian, datang pula lelaki lain yang mencari Suluh. Iwan, lelaki itu, mengaku sebagai seorang wartawan yang sering mendapatkan tugas ke luar negeri. Ia mencari Suluh setelah tahu segala kisahnya dari cerita Pak Yusuf, dan kemudian langsung menawarkan bantuan mencari emaknya di Arab Saudi. Tentu saja Suluh langsung menerima bantuan ini.
Di suatu sore yang cerah, Suluh sengaja menemui Ayu untuk mengucapkan terima kasih.
“Aku percaya Tuhan akan membaca semua surat-surat itu, Luh. Itulah kenapa aku juga ikut mengirimkan kapal-kapalku. Aku tahu perahu-perahu kecil itu akan sampai ke rumah Tuhan,” ujar Ayu dengan riangnya.
Suluh tersenyum menatap jingga di ujung cakrawala. Ragunya kikis kini. Ia takkan berhenti menulis semua permintaan, bahkan andai laut dipenuhi kapal-kapal kertasnya. Ia yakin, Tuhan pasti sudah menyiapkan jawaban untuk semua permintaannya.*****

Kalinyamatan – Jepara, 2011-2015.


(Adi Zamzam, Kedaulatan Rakyat, Minggu 28 Juni 2015 dengan judul; “Perahu-perahu Kecil”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar