Dan Perahu-perahu Kecil Itu Akan Sampai
ke Rumah Tuhan
“Nulis
apa, Luh?” masih berbaring di dipan ruang tamu. Tadi malam, sepulang dari
tempat entah, lelaki itu terdengar riuh menceracau hingga larut malam. Mabuk.
“Surat,” tanpa menoleh.
“Lalu
kenapa kau membuangnya ke laut?” mengucek mata.
Terhenti.
Menoleh bapaknya. “Bapak mengambilnya kembali?”
“Kayak
bocah saja. Apa tak ada permainan lainnya?” menguap.
“Bapak
jangan mengganggu kapal-kapalku,” menatap serius.
“Belikan
Bapak rokok. Ini uangnya.”
Suluh
mengacuhkannya. Kembali meneruskan menulis surat-suratnya.
“Heh,
belikan Bapak rokok. Apa kamu tak punya telinga?” mencoba duduk.
“Kenapa
Bapak tak menikah lagi saja?”
Mata
anak dan bapak itu saling bertemu.
“Kamu
ngomong apa, anak bodoh? Ayo cepat belikan Bapak rokok.”
Suluh
bangkit. Tak dihiraukan suara bapaknya.
“Oo…
anak edan!”
* * *
Senja
nan jingga terlihat berair di pelupuk matanya. Burung-burung berbondong-bondong
menyusul ke peraduan cahaya. Perlahan tambur warna emas itu tenggelam di ufuk barat.
Menyisakan gelap di rerimbunan bakau dan kemilau keemasan di permukaan laut.
Sosok
itu melepaskan sepuluh kapal kertasnya ketika jukung yang ia kayuh perlahan
menjauh dari pantai. Pandangannya tak pernah lepas. Di kawalnya perahu-perahu
kertas itu menuju lautan bebas.
“Huahahaha… dengar, aku bacakan ya… Kepada
Tuhan Yang Maha Mendengar. Bukankah Engkau Maha Kuasa? Aku hanya minta agar
Emak cepat pulang…”
“Hahahaha…,” suara Budin disambut gelak tawa
teman-temannya.
“Itu bukan mainan, Din. Sini, kembalikan!”
Ayu coba merebut kertas itu. Budin mendorongnya hingga gadis pincang itu hampir
terjatuh.
“Aku bacakan yang lainnya lagi. Masih kepada
Tuhan Yang Maha Mendengar. Aku tak minta yang lain-lain. Aku cuma minta agar Kau
menolong Emak supaya bisa cepat pulang…”
“Huahahaha…” suara Budin yang sengaja dibuat
meratap-ratap kembali bersambut tawa teman-temannya.
Tanpa diduga-duga, Suluh menyeruduk Budin.
Dua lelaki kecil itu bergulingan. Tak ayal, rambut dan seragam sekolah
merekapun berlumur pasir.
Ia
memutuskan membalik arah jukung ketika gelap telah menelan semua. Ia menyusut
kedua mata yang berdanau. Tapi semakin ia menyusutnya, semakin deras kesedihan
itu meleleh.
“Apa benar kau telah menjotos Budin, Luh?”
lelaki tambun itu menatap tajam Suluh.
“Dia mengejek saya, Pak,” menekuri sepatu
bapak kepala sekolahnya yang tersemir licin.
“Hanya gara-gara diejek kau sampai membuat
pipinya bengkak begitu?” mengarahkan sabetannya ke lengan kiri Suluh.
“Dia yang salah, Pak!” mendongak, menahan
amarah. “Dia merusak kapal-kapal saya!”
Diam
mencekam. Suluh membayangkan, mungkin Tuhan sedang sibuk dengan urusan-urusan
yang lain. Telah berbilang hari ia melakoni kebodohan ini. Tak ada hasil. Sama
seperti doa-doanya yang tak pernah mendapatkan jawab.
Suluh
tertegun ketika kemudian pandangannya menemukan dua buah perahu kertas yang
bergerak mendekat ke arah jukungnya. Teriris hatinya. Baru beberapa menit ia
melepaskan mereka, kini dua permintaannya dikembalikan lagi.
Ia
ambil juga dua kapal kertas yang telah rebah karena hampir seluruhnya basah.
Budin tertawa di dalam kepalanya ketika
ia membongkar kapal kertas di tangan.
Terkejutlah
ia kemudian. Bukan tulisannya yang ia dapati, melainkan tulisan tangan Ayu yang
ia kenal betul bentuknya. Ayu memohon kepada Tuhan agar membuka hati Suluh
supaya mau kembali sekolah. Ayu juga memohon agar Suluh diberi kesabaran dan
kekuatan dalam hidup.
Bukannya
terharu, Suluh malah meremas dua kapal kertas itu.
* * *
Susah betul memejamkan mata malam itu. Kalimat-kalimat
Ayu dalam kapal kertas tak bisa hilang dari kepala Suluh. Seminggu yang lalu,
ia memang memutuskan keluar sekolah karena jengkel dengan kepala sekolah yang
lebih membela keusilan Budin. Kini Suluh ikut kerja di pabriknya Haji Dayan
yang memproduksi segala macam olahan ikan.
Kebiasaan
buruk bapaknya semakin menjadi-jadi. Selain hobi mabuk dan judi, dari kabar
burung yang ia dengar, lelaki itu telah berani menggandeng perempuan entah.
Suluh sendiri pernah menemukan sehelai rambut panjang ketika ia hendak mencuci
baju kotor bapaknya. Pantaslah kalau lelaki itu sering bilang kalau
penghasilannya selalu susut. Lelaki itu sudah jarang di rumah. Sepertinya
lelaki itu sengaja memaksa Suluh untuk menghidupi diri sendiri. Sepertinya
lelaki itu hendak pergi merajut sarang barunya sendiri.
Ya,
karena semua alasan itulah Suluh ingin agar emaknya lekas pulang. Jika emaknya
pulang, pasti semuanya akan berubah.
Tapi
mungkinkah itu terjadi? Sedangkan ia telah tiga belas tahun kini. Kata
orang-orang, perempuan itu pergi ke Arab ketika ia masih umur enam.
Itulah
kenapa Budin senang sekali memperolok semua kapal kertas buatan Suluh. Masuk
akalkah caranya selama ini? Suluh sendiri kadang merasa tak yakin apakah Tuhan
akan membaca semua surat-suratnya. Ia merasa tak punya cara lain lagi untuk meminta
tolong.
* * *
Siang
yang terik. Tampak sebuah mobil memuntahkan seorang lelaki asing yang kemudian
mondar-mandir di depan rumah Suluh.
“Cari
siapa, Pak?” Bahar, teman Suluh yang saat itu berada tak jauh dari rumah itu,
langsung menghampiri.
Tamu
itu mencari Suluh.
Bahar
segera melesat ke tempat kerja Suluh.
Suluh
terkejut ketika tamu asing itu bilang telah tahu seluruh kisah hidupnya. Lelaki
itu cerita, ketika ia berlayar ke Pulau Nyamuk (sebuah pulau yang letaknya tak
jauh dari perkampungan nelayan tempat Suluh tinggal) demi proyek pembangunan
Sekolah Dasar yang ia tangani, ia menemukan kapal-kapal kertas yang bertuliskan
permintaan-permintaan Suluh. Ia mendapatkan alamat Suluh setelah menelusuri
nama sekolah yang tertera dalam salah
satu kapal kertas itu.
Lelaki
asing itu kemudian menawari Suluh agar masuk sekolah lagi. Lelaki asing itu
bilang bersedia menanggung biaya sekolah Suluh nanti. Lelaki asing itu cerita
bahwa ia juga punya banyak anak asuh.
Suluh
tak langsung mengiyakan tawaran Pak Yusuf—lelaki baik hati itu. Ia minta waktu
tiga hari untuk memikirkan jawaban. Ada
banyak yang mengganjal dalam kepala Suluh, antara meneruskan sekolah ataukah
hidup mandiri agar lekas bisa menjauh dari kehidupan bapaknya. Ia juga enggan
jika harus bertemu Budin dan kepala sekolah itu lagi. Jika ia harus menruskan
sekolahnya lagi, ia akan mencari sekolahan yang lain.
Dua
hari kemudian, datang pula lelaki lain yang mencari Suluh. Iwan, lelaki itu,
mengaku sebagai seorang wartawan yang sering mendapatkan tugas ke luar negeri.
Ia mencari Suluh setelah tahu segala kisahnya dari cerita Pak Yusuf, dan
kemudian langsung menawarkan bantuan mencari emaknya di Arab Saudi. Tentu saja
Suluh langsung menerima bantuan ini.
Di
suatu sore yang cerah, Suluh sengaja menemui Ayu untuk mengucapkan terima
kasih.
“Aku
percaya Tuhan akan membaca semua surat-surat itu, Luh. Itulah kenapa aku juga
ikut mengirimkan kapal-kapalku. Aku tahu perahu-perahu kecil itu akan sampai ke
rumah Tuhan,” ujar Ayu dengan riangnya.
Suluh
tersenyum menatap jingga di ujung cakrawala. Ragunya kikis kini. Ia takkan
berhenti menulis semua permintaan, bahkan andai laut dipenuhi kapal-kapal
kertasnya. Ia yakin, Tuhan pasti sudah menyiapkan jawaban untuk semua
permintaannya.*****
Kalinyamatan
– Jepara, 2011-2015.
(Adi Zamzam, Kedaulatan Rakyat, Minggu 28
Juni 2015 dengan judul; “Perahu-perahu Kecil”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar