Sang Hakim
Beberapa koran minggu ini benar-benar membuat mataku ketagihan menyelinap
dari satu berita ke berita lain yang disuguhkannya. Judul-judul yang selalu
menjadi buruan mataku adalah yang menerakan nama Ayah, dengan segala polah
terduga maupun tak terduga yang berada di sekitarnya.
Lihat saja ini di tanganku. Koran nasional yang bertanggal hari ini, jadi
kau pun akan bisa menemukannya dengan mudah. Ayo lihat halaman pertamanya, yang
ada frasa “Bola Panas”nya itu. Baca tuntas hingga ke sambungannya di halaman
sebelas kolom empat.
Lihat juga di majalah berita mingguan yang terkenal kritis ini. Bacalah.
Selain fotonya yang dijadikan cover bulan ini, profilnya juga dikupas tuntas
dari A sampai Z. Bacalah riwayat hidupnya, pengalaman-pengalaman hebatnya sejak
masih sekolah, lalu mahasiswa, lalu perjalanan kariernya sejak masih seorang
pemula hingga seperti sekarang. Bacalah kasus-kasus yang pernah digetoknya. Nanti, aku yakin, kau
pasti akan dengan mudah bisa menerka bagaimana sifat ayahku itu. Atau, kau
mungkin bisa mencarinya di koran lokal. Aku yakin nama ayahku saat ini juga ada
di koran-koran lokal di manapun kau tinggal.
Nama ayahku memang sedang melambung saat ini. Saat korupsi mulai
dipandang menjijikkan. Tapi lupakan dulu soal ketenaran itu. Yang membuatku
terobsesi dengan ayahku sendiri sebenarnya bukanlah hal itu.
Baiklah. Akan kuceritakan kepadamu tentang kebiasaan misterius Ayah yang
selalu membuatku penasaran. Masalahnya, aku yakin kebiasaan itu sedikit banyak
pasti berpengaruh terhadap pencapaian beliau saat ini.
* * *
Malam yang hening. Seperti dugaanku, Ayah pasti akan melakukannya lagi.
Aku hening mengintipnya sekarang. Mataku menyusup di lubang pintu. Kulihat
beliau sudah membuka laci bawah lemari arsipnya—lemari yang sampai saat ini
masih menjadi larangan Ayah untukku. Kulihat beliau mengeluarkan sebuah kotak
dan lalu meletakkannya di meja kerja.
Menit berikutnya kulihat beliau seperti sibuk dengan tubuhnya sendiri.
Seperti hendak membuka baju. Seperti menepuk-nepuk dadanya sendiri. Seperti
bermain-main dengan kotak di hadapannya. Lalu setelah itu terlihat diam selama
beberapa saat.
Selama bertahun-tahun apa yang dilakukan Ayah dengan kotak itu menjadi
misteri yang membuatku penasaran setengah mati. Pasalnya, pintu kamarnya selalu
dikunci setiap beliau melakukan hal itu. Dan yang aku catat, seusai beliau
melakukan itu pasti kelakuannya kemudian menjadi aneh dan berubah drastis.
Rautnya terlihat serius dan dingin. Tak pernah tersenyum. Rasa hangat tiap kali
kami berdekatan tak lagi kurasakan. Dan terutama keesokan paginya, yang pasti
akan ada kehebohan di media-media perihal kasus besar yang sudah digetoknya.
“Apakah pagi ini giliran kasusnya orang itu, Yah?” tanyaku memastikan,
saat kami sarapan bersama.
“Hmmh,” hanya menoleh sekilas dari piringnya. Kemarin aku menduga,
perubahan drastis Ayah yang seperti itu dikarenakan semacam beban mental
sebelum menghadapi sebuah kasus. Tapi entah mengapa, prasangkaku kini telah
bergeser. Aku justru mulai curiga dengan kotak misterius di laci bawah lemari
arsipnya itu. Apa yang sebenarnya dilakukan beliau dengan kotak itu?
“Ayah akan memvonisnya berapa tahun?”
“Jangan mengurusi sesuatu yang tak penting buatmu,” jawaban yang sudah
dapat kutebak pula.
Dari nada bicaranya, aku justru berprasangka bahwa beliau khawatir jika
keusilanku berkomentar ini-itu perihal kasus yang tengah digenggamnya, dapat
memengaruhi atau setidaknya membuatnya merasa terganggu setelah keputusan yang
telah dimatangkannya sendiri. Beliaupun selalu memutus pembicaraan atau kadang
mengalihkannya ke tema lain acapkali aku menyinggung perihal orang-orang yang
tengah dalam penanganannya.
“Apakah menurut Ayah, Rani adalah seorang gadis yang baik?” aku terdiam
sejenak sebelum akhirnya kuputuskan mengalihkan pembicaraan. “Dia selalu
mengingatkanku pada Ibu.”
“Hmmh,” lagi-lagi hanya kalimat pendek itu yang keluar. Selalu begini
setelah lelaki itu melakukan hal aneh tersebut. Ia seperti bukan lagi ayahku.
Ia berubah tak acuh, seperti telah kehilangan perasaan.
Ibuku telah meninggal sepuluh tahun silam dalam sebuah insiden yang
menyedihkan. Pada suatu siang, sehari setelah Ayah menggetok sebuah kasus besar
(yang melibatkan orang-orang besar), perempuan itu tertembak di depan matanya.
Sasaran yang sebenarnya adalah Ayah. Mungkin malaikat telah menaburkan debu ke
mata penembak misterius itu. Bidikannya
justru meleset ke arah Ibu. Waktu itu orangtuaku baru saja keluar dari sebuah
mall untuk belanja. Setiap akhir pekan mereka berdua memang kerap menyisihkan waktu untuk masak bersama.
Hingga detik ini para penembak misterius itu belum diketemukan. Aku pikir
Ayah sudah bisa menduga dari kelompok siapakah mereka itu. Tapi beliau lebih
memilih diam. Entah diamnya itu karena takut ataukah karena belum ada
kesempatan membalas.
Aku masih ingat betul dengan saat-saat paling menyedihkan itu. Hampir
setahun Ayah tenggelam dalam kesedihan. Lelaki itu menjadi seorang yang paling
pelamun dan pendiam. Mengabdikan diri di kampus bahkan ia tinggalkan. Sejak
saat itulah lelaki itu suka mengurung diri dalam kamar kerjanya. Dan akupun
masih ingat betul, hal pertama yang dilakukan lelaki itu sebelum bangkit ke
dunianya sekarang adalah hal aneh yang sampai saat ini masih menjadi misteri
buatku.
* * *
Ayahku adalah seorang hakim yang disegani banyak orang. Baik oleh teman
sendiri maupun orang-orang yang belum pernah bersua dengannya. Nama besarnya
kerap menghiasi halaman depan koran-koran. Harumnya sudah tersebar ke
mana-mana.
Banyak kasus besar telah ditangani ayahku dengan tangan dingin. Tak
peduli teman dekat sekalipun, jika sudah terendus hidung polisi dan dilemparkan
ke hadapan Ayah, maka janganlah berharap belas kasihan kecuali jika terjadi
keajaiban Tuhan.
Ketegasannya sudah dikenal banyak kalangan. Masih kuingat dengan jelas,
sewaktu aku masih kanak, kami kerap dikirimi hadiah-hadiah. Tapi kesenangan itu
selalu diinterupsi Ayah dengan sebuah pertanyaan, “Dari siapa itu?” Tak
terhitung hadiah-hadiah yang menggiurkan mataku namun akhirnya dikembalikan
lagi oleh Ayah begitu tahu siapa pengirimnya.
Beliau kerap menjadi incaran orang-orang yang membenci sepak terjangnya.
Ibuku adalah korban nyatanya. Di negeriku ini hakim yang seperti Ayah jumlahnya
bisa dihitung dengan jari. Bukanlah hal gampang untuk bisa mencapai kepribadian
setaraf kepribadian Ayah. Mungkin orang tersebut harus merasai kepahitan hidup
seperti yang pernah dirasai Ayah. Konon, masa kecil Ayah juga memprihatinkan.
Sebagai anak dari seorang polisi yang jujur, keadaan tak pernah memanjakannya.
Hanya ada satu hal yang sampai saat ini belum aku ketahui tentang Ayah. Dan tersebab
hal itulah aku berada dalam kamar ini sekarang.
Semasa kecil, yang aku ketahui tentang kamar ini hanyalah ruang kerja
Ayah. Semuanya masih sama seperti dulu. Kukira hanya suasananya saja yang
sedikit berubah. Ada sedikit aroma kesedihan dalam ruangan ini. Suara Ibu yang
akan langsung memanggilku keluar dari sini jelas takkan terdengar lagi.
Beberapa foto yang mengabadikan prestasi kerja Ayah masih terpajang di
dinding sebelah barat dan utara. Tumpukan koran bekas menggunung di sisi lemari
arsip. Lembar koran-koran yang hanya memuat berita-berita tikus-tikus berdasi.
Sementara koran-koran yang memuat berita tikus-tikus yang sedang dalam
pengejaran, tertidur manis di atas meja kerja.
Lemari arsip Ayah terletak di sisi utara atau sebelah kanan meja kerja
yang menghadap ke barat. Perihal meja kerja yang diletakkan menghadap ke sisi
barat, aku pernah bertanya. Jawab Ayah, agar saat bekerja ia selalu teringat
Tuhan. Ia ingin mengabdikan pekerjaannya kepada Tuhan. Ia ingin mempersembahkan
kematian Ibu kepada Tuhan, agar tidak sia-sia.
Lemari arsip itu adalah benda paling terlarang untuk kusentuh. Tebakanku,
semua data-data tentang ‘korban’ Ayah pasti tersimpan di sana. Baik yang sudah
berhasil dilemparnya ke teralis, maupun yang masih dalam tahap pengendusan. Dan
dalam rangka demi lemari arsip itulah kini aku bersembunyi di bawah kolong
tempat tidur Ayah.
Aku sangat yakin bahwa malam ini lelaki itu akan kembali melakukan ritual
anehnya lagi, sebab dari kabar santer yang kudengar, besok pagi beliau akan
menggetok nasib seorang petinggi partai yang terjerat kasus korupsi. Di tempat
persembunyian kini aku berdo’a, semoga saja Ayah tidak curiga dengan pesan yang
aku tinggalkan kepada Mbok Inah, satu-satunya pembantu rumah tangga yang sudah
kami anggap sebagai keluarga sendiri. Malam ini aku menginap di rumah teman,
besok pagi aku baru pulang. Pesan itu juga telah kukirimkan ke HP beliau.
Dadaku berdenyar hebat ketika terdengar pintu kamar ini dibuka. Aku
melihat separuh kakinya. Berjalan ke arah meja kerja. Kertas-kertas dibuka.
Gelas beradu meja. Lalu lelaki itu akhirnya pun bergerak ke arah lemari arsip.
Inilah saat yang paling kutunggu. Dengan sangat hati-hati aku beringsut
ke tepi, hingga bisa kudapati sosok utuh lelaki itu. Setelah meneguk tehnya,
Ayah membuka kotak itu. Kotak kayu warna coklat yang entah berisi apa. Dan
detik berikutnya, terngangalah aku…
Lelaki itu, maksudku ayahku, merogoh sesuatu dari dadanya. Kemudian dapat
kulihat tangan kanannya yang menimang sebuah benda warna merah darah.
Benar-benar darah! Aku langsung beringsut membenamkan diri ke kolong lagi. Ya
Tuhan, apakah ada yang salah dengan mataku?!
Ketika kudengar helaan napas lelaki itu, tubuhku gemetaran. Terbayang,
seorang lelaki tanpa hati yang memimpin sebuah sidang. Seorang hakim yang
disegani banyak orang. Dan dia adalah ayahku.***
Banyuputih – Kalinyamatan, Jepara 2013-2014.
(Adi Zamzam, Tabloid Minggu Pagi, 9-16 Januari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar