KETIKA "SI
RAKSASA" SAKIT
(3)
“Banguuun, ayo cepat banguuun!”
Joko Thole langsung terlonjak dari mimpi indahnya.
“Gempa, Mak, gempa. Ayo, selamatkan nyawa!” Thole menarik tangan emaknya yang
terlihat mematung.
Klothak!
“Aduh! Emak, ada bencana begini kok masih sempat
kepikiran menjitak anak sendiri,” Thole mengelus kepalanya yang
berdenyut-denyut.
“Kebiasaanmu itulah yang sebenarnya bencana.
Emaknya saja pagi-pagi sudah jalan kaki ribuan meter keliling kampung. Eh, anak
lekakinya di rumah kok malah masih molor. Coba pikir, apa itu bukan bencana
buat si emak ?!”
“Emaknya siapa sih Mak, yang nasibnya malang
begitu ?”
Klothak! Sebuah jitakan sukses mendarat di kepala
Thole lagi.
“Emak puasa kan?” meringis kesakitan.
“Cari kerja, Le, cari kerja!”
“Bukannya kemarin Emak baru saja terima bantuan
tunai langsung dariku?”
“Le, Le, memangnya uang seratus ribumu bisa sampai
mana?”
“Ya Allah, Mak, uang seratus ribu bisa sampai
Yogya lho. Masak baru tiga hari sudah krisis lagi?”
“Lha memangnya yang kemarin-kemarin itu kamu makan
apa? Batu? Tinggal ambil di jalan begitu? Coba dengar, Hermanto sekolah
itu pakai apa?”
“Ya baju, Mak. Masak
telanjang?” potong Thole cepat.
Klotak!
“Lampu nyala juga harus pakai apa? Tempe tahu yang
sering kamu omeli tiap hari itu belinya pakai apa? Nasi bisa matang pakai apa?
Kayu kan? Zaman sekarang kayu aja harus beli, Le, Thole.”
“Thole jadi lapar setelah
dengar pidato Emak,” Thole melangkah gontai. Bibirnya langsung manyun saat
mendapati gentong beras yang kosong melompong. “Emak nggak punya beras?”
“Pikiranmu hanya
Emak, Emak, Emak. Kalau Emak mati, bisa-bisa kamu jadi gelandangan,
Le,” Mak Fatmah terus saja nyerocos sambil menghitung penghasilan hari ini.
“Aku kan cuma tanya, Emak nggak punya beras?”
tiba-tiba ada yang terasa sakit dalam dada Thole.
“Tahumu cuma ada beras atau nggak. Cepat minta
beras sana!”
”Yaah, kok minta sih, Mak?” dengan raut penuh
penderitaan.
Tangan Mak Fatmah telah siap dengan jitakan,
ketika akhirnya Thole akhirnya menuruti perintahnya.
* * *
Baru saja beberapa meter meninggalkan sarang,
Thole mendengar suara marah-marah dari arah dapurnya Pak Suparman.
“Tempe tahu tempe tahu, kalau kamu bisa cari ayam,
sana beli ayam! Bisanya jangan cuma mengeluh melulu.” Lalu terdengar
suara piring dilempar.
“Aku kan cuma bilang bosan, Mak. Mbok ya kadang diganti apa begitu,” itu
suara Slamet. Thole geleng-geleng kepala. Ternyata bukan cuma dia saja yang
mengalami krisis pangan.
Thole meneruskan
perjalanannya dengan banyak berpikir. Tentang dirinya sendiri. Tentang umurnya
yang sudah hampir seperempat abad. Sudah
dapat apa ia selama seperempat abad? Kebahagiaan Emak? Tak ada. Cuma ijazah
yang kini terjepit di tumpukan pakaian dalam lemari. Apa yang ia dapat dari
sekolah itu?
Kadang Thole berpikir, mungkin masalahnya adalah
ia lahir di tempat yang salah. Ijazah benar-benar hampir tak ada gunanya
di daerah sini. Sangat tidak lucu kalau Thole harus menyertakan Ijazahnya kalau
hanya untuk menyiangi rumput di sawahnya Pak Thio.
Bahkan Pak Thio yang
borjuis itu pun cuma lulusan madrasah
tsanawiyah. Semua orang di sini
kebanyakan bekerja mengandalkan balas jasa dari anak-anak mereka. Mungkin
itulah sebabnya kenapa Emak begitu ngebet ingin Thole lekas bekerja. Tapi kerja
apa? Di daerah sini memang adanya cuma kerja musiman.
Thole lalu mendata para tetangga berikut
pekerjaanya. Pak Suparman, dia benar-benar manusia super penggali pasir di Kali
Gede. Jika musim penghujan biasanya dia pindah profesi jadi buruh tani. Pak RT,
benar-benar murni seorang petani. Kehidupannya lumayan layak karena sang istri
turut membantu sebagai penjual segala macam pisang di pasar. Pak Darto, buruh
karung goni. Kang Razak, tukang sayur. Pak Thio cuma seorang penunggu
toko. Nasibnya mujur karena toko itu adalah yang terbesar dan terlengkap di
desa ini. Ahh, benar-benar tempat yang bermasa depan suram!
Ataukah…ia yang terlalu
gengsi? Terlalu pilih-pilih
pekerjaan?
Bukk!
Thole terhuyung saat langkahnya tertahan sebuah
pohon mangga. Kutukan melamun.
“Ya Allah, sudah bersakit-sakit dahulu, kok
tokonya malah tutup.” Thole mengetuk-ngetuk semua pintu di rumah Pak Thio. Tapi
tak seorang makhluk pun menyahut.
“Masak hibernasi di musim kemarau begini sih?”
Thole memperkeras ketukannya. “Pak, sudah siang , Pak!” ucap Thole sambil
mengelilingi rumah itu mencari lubang apapun yang sekiranya bisa untuk
memasukan suara. Tapi nihil.
Thole memijiti dahinya. “Benar-benar memalukan.
Mau ngutang masak harus mulai dengan kericuhan. PAK, SUDAH SIANG, PAK!”
Thole berteriak.
Krukruruyuk… Ternyata
malah perut Thole sendiri yang menyahut.
“Hhhh, benar-benar apes.”
* * *
“Siapa suruh ke warungnya
Pak Thio?”
“Lah bukannya Emak kalau belanja memang ke situ?”
“Ke warungnya Mbok Kus, Le!”
“Ngutang beras sampai ke ujung dunia sana?”
“Lha memangnya kenapa? Yang bakal melunasi kan
Emak, bukan kamu.”
“Malu, Mak. Ngutang sih ngutang, tapi mbok ya ke Pak Thio saja, Mak.”
“Kamu mau mati kelaparan?”
Garuk-garuk kepala, “Setahuku Pak Thio bukan orang
pelit. Emaknya Slamet setahuku juga terlibat kredit macet dengan Pak
Thio.”
“Dua hari yang lalu dia masuk rumah sakit, Le.
Kamu mau makan sampai dia sudah sembuh?”
“Innalilahi,
sakit? Sakit apa, Mak? Dua hari yang lalu katanya beliau masih sempat ke Demak
kok?”
Saat itulah Mak Siyah
datang sambil membawa muka susah. Gelagat
seperti ini pasti pertanda sedang ada musibah. Apalagi tadi perempuan itu baru
saja manghadiahi anak sulungnya dengan amarah. Masalah gerangan apakah ? Semoga
bukan untuk pinjam duit. Kenapa ya, setiap orang sepertinya jatuh cinta dengan
’utang’? Mentang-mentang negaranya negara yang hobi utang.
“Mak Fatmah mau ikut doa
bersama nggak?”
“Doa bersama?” kening Joko
Thole berkerut. “Doa bersama apaan, Mak?”
“Pak RT sudah setuju
kalau warga RT sebelas RW tiga mengadakan do’a bersama untuk Pak Thio. Cuma
Kang Razak yang katanya absen. Soalnya Pak Thio kan memang saingan beratnya.”
“Di mana tempatnya?” Mak Fatmah mendekat.
Kening Joko Thole jadi
tambah berkerut, mirip tumpukan wafer. Apalagi kulitnya memang coklat manis.
“Di rumahnya Pak Thio,
Mak. Acara akan dipimpin oleh Haji Budiman dan diikuti oleh seluruh mereka yang
punya utang kepada Pak Thio.”
“Haaa?” mulut Joko Thole menganga menunggu mangsa.
“Kapan?”
“Secepatnya lah, Mak. Kalau sakitnya Pak Thio
kelamaan, kan kita juga ikut sengsara. Mana mungkin Cik Mumun bersedia menjual
perhiasannya untuk biaya suaminya. Pasti kita-kita yang akan kena cambuk
melunasi hutang.”
“Iya, kapan?”
“Nanti malam, habis salat Magrib.”
Akhirnya kerutan di dahi Joko Thole menghilang
sebelum Mak Siyah menangkap tumpukan wafer betulan dan berniat mengambilnya.
Joko Thole mulai paham duduk perkaranya. Ini adalah persekongkolan orang-orang
miskin untuk mendukung kekayaan Pak Thio.
Di balik kekayaan Pak Thio ternyata tersimpan nadi
kehidupan mereka. Benarlah apa yang pernah dikhotbahkan Haji Budiman saat salat
Jumat itu. Bahwa di sebagian kekayaan orang-orang kaya ada hak orang-orang
miskin. Orang miskin akan turut menyangga kekayaan orang kaya dengan doa,
selama si kaya tersebut tidak ingkar atas hak orang-orang miskin. Alias pelit
bin medit.
* * *
Dua hari kemudian doa itu terkabul. Pak Thio
diperbolehkan pulang dari rumah sakit, tapi masih harus menjalani obat jalan,
berobat sambil jalan-jalan. Maksudnya jika obat Pak Thio habis, maka dia harus
jalan menemui Dokter Surash sampai ia betul-betul divonis sehat.
Dokter Surash adalah
dokter spesialis penyakit syaraf di Kudus. Pak Thio terkena gejala stroke. Tak dinyana dua hari kemudian musibah di
rumah Pak Thio merembet ke rumah Joko Thole. Mak Fatmah sakit. Meski bukan
stroke, tapi perempuan kepala empat itu tak bisa lagi mengedarkan tempe. Mak Fatmah
kini terbujur kaku dengan wajah sendu dan sering mengeluh ngilu-ngilu berharap
dibelikan jamu. Apalagi jika melihat kelakuan anak sulungnya, hatinya semangkin
bertambah pilu.
“Thok, nanti habis salat Magrib
kita berdo’a bersama ya? Gudel juga harus ikut.”
“Doa bersama ?” yang dipanggil Thok menoleh dari
televisi.
“Seperti yang
dirumahnya Pak Thio itu loh. Kita berdoa supaya Emak lekas sembuh. Kalau Emak sembuh, kan kita bisa makan
enak lagi, nggak lauk lidah terus. Kamu juga pasti akan dapat uang saku
lagi Thok.”
Mbeek!
“Bagus. Semoga Emak lekas
sehat! Semoga Emak jaya! Semoga rezeki Emak tetap lancar sampai tua! Semoga
Gudel nanti beranak tiga!” Thole mengepalkan tangan.
Sementara itu di
pembaringannya, Mak Fatmah menangis tersedu-sedu. Tetapi bukan karena terharu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar